~dimuat di milis Ngobrolin Teater, 11 juli 2006 bersumber KR Minggu 28 Mei 2006~
Oleh : Hasta Indriyana
Salah satu anggota Teater Dinasti adalah Joko Kamto, ia drop out-an sekolahan yang bertempat tinggal di Dipowinatan, Yogya. Di daerah tersebut ada kelompok teater, ia pun bergabung. Di awal-awal ia lebih banyak mengiringi musik, misalnya menjadi peniup suling jika ada dangdutan, pentas 17-an, dsb. Akhirnya teater tersebut bernama Teater Dipo sebab bermarkas di Dipowinatan, yang berdiri sekitar tahun 1976. Pada tahun 1977 mantan-mantan anggota Bengkel Teater seperti Azwar AN, Moortri Purnomo, Gajah Abiyoso, Fajar Suharno oleh karena kangen berteater maka dibentuklah Teater Dinasti (TD) di dalamnya. Anggotanya antara lain Simon HT, Emha Ainun Najib, Eko Winardi, Agus Istiyanto, bergabung pula Indra Tranggono, Angger Jati Wijaya, Halim HD, dsb.
Salah seorang pendirinya mengatakan,
`Dinasti' singkatan dari `Dana Informasi Nasional Teruna Indonesia', oleh sebab itu dalam kelompok tersebut, beberapa kali menerbitkan buletin budaya berkala bernama `Refleksi' yang didanai Belanda. Terdapat keunikan di dalam TD, misalnya ada anggota bernama Gajah Abiyoso yang memiliki jaringan seorang jendral di Jakarta.
Salah satu manfaatnya misalnya dulu sebelum terjadi peristiwa pembunuhan misterius (Petrus) —pembunuhan terhadap preman dan residivis kriminal oleh rezim Orde Baru— ia sudah mengetahui informasi bakal adanya peristiwa penembakan itu. Maka kemudian ditulislah sebuah cerita `Geger Wong Ngoyak Macan' oleh Emha. Artinya, setelah terlebih dahulu mendapatkan informasi, diolah, kemudian sebelum terjadi peristiwa penembakan dipentaskan. Selang beberapa hari atau minggu, di Yogya, seorang tokoh gali bernama Si Wahyo ditembak. Jadi sangat aktual dalam mengangkat permasalahan sosial.
TD adalah salah satu kelompok teater di Yogya yang memiliki kelainan (the other) dibanding sanggar-sanggar teater yang ada. Anggotanya beragam, seperti intelektual, aktivis mahasiswa, pengusaha, pedagang, penyair, pencopet, tukang parkir, penganggur, dsb. Ia bukan sekadar sanggar kesenian tetapi juga menjadi `rumah klarifikasi' bagi sejumlah pengalaman dan permasalahan yang berkembang menjadi bagian pengalaman. Diskusi dan pengkajian, sharing pengalaman dan ide terus dilakukan. Keunikan yang sangat khas TD adalah sebuah komunitas teater yang mengenal karya kolektif dan prestasi kolektif, misalnya penyutradaraan bersama, penulisan naskah bersama, didiskusikan bersama, semua orang memiliki hak menyeimbangkan gagasan-gagasan artistik, tematik, visi kesenian, dsb.
Kerja Kolektif
Sebelum naskah disusun selalu dimulai dengan diskusi sehingga hampir seluruh repertoar TD adalah kerja kolektif. Prinsip tersebut tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip teater pembebasan yang dikembangkan Philliphine Educational Theatre Association (PETA), yaitu Organisasi-Artistik-Orientasi (OAO). Prinsip dalam teater pembebasan, pertama, memenuhi syarat organisasi, yaitu pengalaman kelembagaan kolektif apapun. Kedua, artistik merupakan tata nilai yang berhubungan dengan kaidah-kaidah berkesenian —yang kadang menjadi perdebatan tidak selesai-selesai— seperti misalnya teater pembebasan yang mempunyai misi penyadaran tidak selalu harus artistik. Bagi TD, artistik tetap menjadi syarat meskipun yang dipentingkan dalam teater pembebasan adalah tema dan isinya, sehingga tidak melanggar kaidah-kaidah berkesenian. Ketiga adalah orientasi, ia adalah ideologi yang diusungnya.
Prinsip yang digunakan PETA sebenarnya belajar dari apa yang telah dilakukan Amerika Latin, Brasil, dan Afrika. Pemikirnya adalah Agusto Boal, penulis buku Theatre of the Oppressed, yang konsepnya merupakan turunan dari pendidikan-pembebasan-nya Paulo Freire, yaitu pendidikan yang membebaskan rakyat dari keadaan yang menindasnya, pendidikan yang membuat rakyat tidak dililit ketergantungan. Harapannya adalah dengan pendidikan tersebut rakyat bisa mengubah keadaan. Soal menjadikan teater sebagai media pendidikan untuk mempelajari permasalahan yang ada secara bersama-sama.
Petapada awalnya mencoba menyusun konsep itu tetapi kemudian dari berbagai pengalaman dan pemikiran-pemikiran yang muncul, para aktivis di Filipina mencoba menyusun kurikulum untuk pendidikan rakyat melalui teater.2 Di Indonesia terutama di beberapa LSM dikoordinir Bina Desa yang mencoba mempraktikkan dan menyebarluaskan metodologi itu. Melalui beberapa LSM, termasuk di Yogya ada Fred Wibowo bersama Puskat-nya, Brotoseno bersama Teater Urakan-nya, Simon HT, dengan KTRI-nya, dll. Pada tahun 1980 untuk pertama kali Indonesia mempelajari teater pembebasan pada PETA yang saat itu diwakili Fred Wibowo dan Emha Ainun Nadjib.
Berhubungan dengan agenda-agenda teater pembebasan di masyarakat, TD telah memberikan banyak sumbangsih, baik dalam praktik maupun upaya penyebarluasan pendidikan bagi rakyat. Waktu itu TD berkeliling wilayah-wilayah, masuk ke berbagai komunitas, juga diminta melatih teater anak-anak muda yang ingin menerapkan teater pembebasan di masyarakat.
Penulis buku The Playful Revolution Theatre and Liberation in Asia (1992), Eugene van Erven menyebut TD dan Teater Arena dari Yogya selayaknya dipuji dalam usaha-usaha yang tidak mengenal lelah dalam menopang prakarsa teater pendidikan. Setelah Bengkel Teater, TD menegaskan penyuaraan moral, kritisisme, dan pemberian kesaksian tentang kehidupan di Indonesia yang membutuhkan banyak perbaikan yang bersungguh-sungguh.
Dikatakan pula konsep teater pembebasan terkandung semua pengertian yang sudah mentradisi tentang teater. Perbedaannya, pementasannya tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tujuan dan segala-galanya. Proses transformasi mental dan kultural dipandang jauh lebih bernilai. Pementasan hanya bagian kecil walaupun tidak begitu saja dinafikan.
Naskah-naskah drama yang dihasilkan tentu saja didominasi oleh tema-tema sosial. Hal tersebut senapas dengan kecenderungan naskah-naskah drama yang diproduksi pada dasawarsa itu. Kemudian yang ditulis adalah persoalan masyarakat yang menyangkut orientasi kehidupan politik dan kekuasaan yang runyam dan kemiskinan yang mewabah. Pilihan tema-tema tersebut tentu bukan sekadar kebetulan atau tren semata. Bisa diartikan bahwa fenomena tersebut merupakan pemihakan bagaimana teks drama berusaha menawarkan aspirasi intelektual dan sesuai dengan persoalan nyata rakyat.
Pada dasawarsa tersebut ditandai naiknya ideologi pembangunan yang cenderung menggerus dan meminggirkan alternatif nilai di luar wilayah yang diabsahkan. Pada situasi seperti itu, tingkat gesekan, persaingan nilai, maupun penolakan dan kritik terhadap praktik-praktik negatif pembangunan menjadi lebih transparan tercerminkan lewat teks-teks drama yang lahir dalam situasi sarat konflik seperti di atas (Benny Yohanes dalam Oposisi Bahasa dalam Teater Orba). Tema-tema yang diangkat di antaranya tema politik, tema kemiskinan, dan tema sosial. Ketiga tema tersebut adalah anyaman persoalan yang saling berkait naiknya praktik pembangunan.
TD, kemudian mengemuka sebagai kelompok teater yang konsisten terhadap pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Oleh karena itu naskah drama yang dipentaskan adalah hasil pergelutan konsep teater pembebasan yang dikerjakan secara kolektif dan atau mementaskan naskah sendiri. Penulis-penulisnya antara lain Emha Ainun Najib, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon HT, Yama Widura, dan Agus Istiyanto, di samping mementaskan naskah drama karya Kuntowijoyo dan Arifin C Noer. Naskah-naskah yang sudah dipentaskan antara lain: `Dinasti Mataram' (Fajar Suharno, 1977), `Geger Wong Ngoyak Macan' (RM Gajah Abiyoso-Emha Ainun Najib), `Patung Kekasih' (Simon HT-Fajar Suharno-Emha Ainun Najib, 1983), `Sepatu Nomer Satu' (Simon HT-Agus Istiyanto, 1985), `Sosok Diam di Kandang Bobrok' (1985), `Keajaiban Lik Par' (ditulis bersama, 1986), `Calon Drs Mul' (Yamawidura, 1987), dan `Mas Dukun' (Yamawidura, 1987).
Sikap Peduli
Beberapa dokumentasi ulasan terhadap TD yang kesemuanya menampakkan sikap kepedulian terhadap kondisi sosial-budaya yang ada, misalnya pada bulan Juni 1983, "Geger Wong Ngoyak Macan" dipentaskan di Taman Budaya Jawa Timur. Pementasan waktu itu seolah melebur jadi satu manfaat hiburan, pendidikan, penerangan, dakwah, dll. Meskipun menggunakan Bahasa Indonesia tapi penuh unsur kearifan lokal. Pada bulan Desember 1987 TD menutup Festival Seni Bulungan dengan menampilkan "Mas Dukun" dengan sutradara Bambang Susiawan.
Menurut Hadi S Purwanto, TD tampaknya sedang berusaha untuk melibatkan penonton dalam pertunjukan dengan mengangkat tema keseharian dalam masyarakat. Dengan konsep kabaret, TD memberikan fenomena kesenian yang nyata dalam puisi dan esai tentang soal yang aktual (Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990).
Pada perkembangan selanjutnya, melalui tubuh TD inilah nantinya melahirkan Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan Teater Gandrik. Pendiri dan penggiat dua kelompok teater tersebut adalah anggota-anggota yang aktif di dalam TD. Tentu saja misinya sama dengan induknya, naskah yang dipentaskan dua kelompok tersebut adalah persoalan sosial tetapi warna pementasan dan teknis penyampaian disesuaikan dengan wilayah garapan, audiens, dan keterlibatan penonton-pemain.
Ciri-ciri tersebut sangat kentara apabila melihat beberapa ulasan pementasan, misalnya yang ditulis oleh Benny Yohanes: ...yang lalu dicapai oleh kekuatan presentasi Teater Gandrik bukan pengajaran, tapi pembebasan bersama. Teater menjadi ruang partisipasi milik bersama, dan setiap komentar sosial atas berbagai persoalan publik yang diledakkan di atas panggung, dapat menjadi sarana pencerahan timbal-balik antara aktor dan penontonnya, untuk sama-sama menakar efek pengobatan kesadaran yang dapat timbul (1999: 246).
Teater Gandrik mampu menajamkan kembali populisme, yang menjadi semangat kerakyatan teater pembebasan. Teater Gandrik lebih banyak mengangkat permasalahan keseharian dengan satu aksentuasi kekinian. Tema wong-cilik dipotret dengan konsep membidik yang low profile sehingga tontonan jadi kosmos yang akrab: tidak menggurui tapi membedah bersama. Dialog-dialognya yang bersenyawa dengan latar belakang budaya para aktornya, yang juga merupakan bagian dari tradisi plesetan .
Kelompok yang kemudian konsisten bergerak di teater pembebasan adalah KTRI. KTRI dalam sepak terjangnya di kemudian hari menjadi bagian integral dari program-program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berusaha mengorganisir rakyat, yaitu masyarakat tertindas yang perlu diberikan penyadaran. Teater pembebasan dengan metodologi yang telah disusun KTRI, dipraktikkan langsung di tengah masyarakat yang dirasa `bermasalah' bagi mereka. Penyadaran terhadap rakyat yang telah dilakukan meliputi di banyak wilayah dan golongan rakyat, seperti petani, buruh, kesehatan, korban penggusuran, dsb.
KTRI sebelum melakukan aktivitas di desa-desa dan masyarakat marjinal di kota-kota di banyak wilayah di Indonesia sudah sejak awal melakukan reproduksi naskah-naskah dan repertoar —yang dikatakan oleh pengamat sebagai `reportoar teater terlibat' atau teater yang lebih kental dengan nuansa-nuansa sosial.3 Waktu itu, KTRI beberapa kali bekerja sama di dalam proyek LSM, bahkan sempat ada tudingan bahwa kesenimanan KTRI semata `orderan proyek' LSM. Oleh mereka, tudingan tersebut dianggap saja sebagai bagian dari sinisme yang dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Artinya, banyak sudah proses-proses seni-budaya-terlibat yang sebelumnya telah dilakukan KTRI terutama yang mendukung upaya pencerahan dan pendidikan rakyat.
Joko Kamto (saat ini aktif di Kyai Kanjeng) bersama Simon HT, Agus Istiyanto, Eko Winardi, dan Angger Jati Wijaya yang menggerakkan roda KTRI adalah salah satu kelompok yang konsisten dalam teater pembebasan, di samping nama-nama dan kelompok teater pembebasan yang lain. Teater pembebasan yang tumbuh marak di tahun 1980-an di kemudian hari mengalami kemandekan. Sebabnya barangkali kalau di tahun-tahun tersebut teater efektif sebagai media pendidikan maka di zaman yang serba digital-cyber ini segala sesuatu yang ditawarkan tentu lebih beragam dan mampu menjawab segala kebutuhan rakyat. Nah, hal ini sangat berkaitan dengan `mental korban kapitalisme' dan pendidikan yang gagal, bukan?
*) Hasta Indriyana, setelah menepatkan studinya di FBS Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY) dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY),
kini aktif dalam Komunitas Budaya Tanda baca, menjabat Sekretaris
Koperasi. Tulisannya dimuat di Horison, Kedaulatan Rakyat, Koran
Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaharuan, Nova,
Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dsb. Tulisannya terkumpul dalam
antologi komunal. Bukunya `Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta'
(Jendela, 2003), `Perempuan Tanpa Lubang' (Pinus, 2004), `Di
Panggung Kota Bicara!!' (Insist, 2005).
Oleh : Hasta Indriyana
Salah satu anggota Teater Dinasti adalah Joko Kamto, ia drop out-an sekolahan yang bertempat tinggal di Dipowinatan, Yogya. Di daerah tersebut ada kelompok teater, ia pun bergabung. Di awal-awal ia lebih banyak mengiringi musik, misalnya menjadi peniup suling jika ada dangdutan, pentas 17-an, dsb. Akhirnya teater tersebut bernama Teater Dipo sebab bermarkas di Dipowinatan, yang berdiri sekitar tahun 1976. Pada tahun 1977 mantan-mantan anggota Bengkel Teater seperti Azwar AN, Moortri Purnomo, Gajah Abiyoso, Fajar Suharno oleh karena kangen berteater maka dibentuklah Teater Dinasti (TD) di dalamnya. Anggotanya antara lain Simon HT, Emha Ainun Najib, Eko Winardi, Agus Istiyanto, bergabung pula Indra Tranggono, Angger Jati Wijaya, Halim HD, dsb.
Salah seorang pendirinya mengatakan,
`Dinasti' singkatan dari `Dana Informasi Nasional Teruna Indonesia', oleh sebab itu dalam kelompok tersebut, beberapa kali menerbitkan buletin budaya berkala bernama `Refleksi' yang didanai Belanda. Terdapat keunikan di dalam TD, misalnya ada anggota bernama Gajah Abiyoso yang memiliki jaringan seorang jendral di Jakarta.
Salah satu manfaatnya misalnya dulu sebelum terjadi peristiwa pembunuhan misterius (Petrus) —pembunuhan terhadap preman dan residivis kriminal oleh rezim Orde Baru— ia sudah mengetahui informasi bakal adanya peristiwa penembakan itu. Maka kemudian ditulislah sebuah cerita `Geger Wong Ngoyak Macan' oleh Emha. Artinya, setelah terlebih dahulu mendapatkan informasi, diolah, kemudian sebelum terjadi peristiwa penembakan dipentaskan. Selang beberapa hari atau minggu, di Yogya, seorang tokoh gali bernama Si Wahyo ditembak. Jadi sangat aktual dalam mengangkat permasalahan sosial.
TD adalah salah satu kelompok teater di Yogya yang memiliki kelainan (the other) dibanding sanggar-sanggar teater yang ada. Anggotanya beragam, seperti intelektual, aktivis mahasiswa, pengusaha, pedagang, penyair, pencopet, tukang parkir, penganggur, dsb. Ia bukan sekadar sanggar kesenian tetapi juga menjadi `rumah klarifikasi' bagi sejumlah pengalaman dan permasalahan yang berkembang menjadi bagian pengalaman. Diskusi dan pengkajian, sharing pengalaman dan ide terus dilakukan. Keunikan yang sangat khas TD adalah sebuah komunitas teater yang mengenal karya kolektif dan prestasi kolektif, misalnya penyutradaraan bersama, penulisan naskah bersama, didiskusikan bersama, semua orang memiliki hak menyeimbangkan gagasan-gagasan artistik, tematik, visi kesenian, dsb.
Kerja Kolektif
Sebelum naskah disusun selalu dimulai dengan diskusi sehingga hampir seluruh repertoar TD adalah kerja kolektif. Prinsip tersebut tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip teater pembebasan yang dikembangkan Philliphine Educational Theatre Association (PETA), yaitu Organisasi-Artistik-Orientasi (OAO). Prinsip dalam teater pembebasan, pertama, memenuhi syarat organisasi, yaitu pengalaman kelembagaan kolektif apapun. Kedua, artistik merupakan tata nilai yang berhubungan dengan kaidah-kaidah berkesenian —yang kadang menjadi perdebatan tidak selesai-selesai— seperti misalnya teater pembebasan yang mempunyai misi penyadaran tidak selalu harus artistik. Bagi TD, artistik tetap menjadi syarat meskipun yang dipentingkan dalam teater pembebasan adalah tema dan isinya, sehingga tidak melanggar kaidah-kaidah berkesenian. Ketiga adalah orientasi, ia adalah ideologi yang diusungnya.
Prinsip yang digunakan PETA sebenarnya belajar dari apa yang telah dilakukan Amerika Latin, Brasil, dan Afrika. Pemikirnya adalah Agusto Boal, penulis buku Theatre of the Oppressed, yang konsepnya merupakan turunan dari pendidikan-pembebasan-nya Paulo Freire, yaitu pendidikan yang membebaskan rakyat dari keadaan yang menindasnya, pendidikan yang membuat rakyat tidak dililit ketergantungan. Harapannya adalah dengan pendidikan tersebut rakyat bisa mengubah keadaan. Soal menjadikan teater sebagai media pendidikan untuk mempelajari permasalahan yang ada secara bersama-sama.
Petapada awalnya mencoba menyusun konsep itu tetapi kemudian dari berbagai pengalaman dan pemikiran-pemikiran yang muncul, para aktivis di Filipina mencoba menyusun kurikulum untuk pendidikan rakyat melalui teater.2 Di Indonesia terutama di beberapa LSM dikoordinir Bina Desa yang mencoba mempraktikkan dan menyebarluaskan metodologi itu. Melalui beberapa LSM, termasuk di Yogya ada Fred Wibowo bersama Puskat-nya, Brotoseno bersama Teater Urakan-nya, Simon HT, dengan KTRI-nya, dll. Pada tahun 1980 untuk pertama kali Indonesia mempelajari teater pembebasan pada PETA yang saat itu diwakili Fred Wibowo dan Emha Ainun Nadjib.
Berhubungan dengan agenda-agenda teater pembebasan di masyarakat, TD telah memberikan banyak sumbangsih, baik dalam praktik maupun upaya penyebarluasan pendidikan bagi rakyat. Waktu itu TD berkeliling wilayah-wilayah, masuk ke berbagai komunitas, juga diminta melatih teater anak-anak muda yang ingin menerapkan teater pembebasan di masyarakat.
Penulis buku The Playful Revolution Theatre and Liberation in Asia (1992), Eugene van Erven menyebut TD dan Teater Arena dari Yogya selayaknya dipuji dalam usaha-usaha yang tidak mengenal lelah dalam menopang prakarsa teater pendidikan. Setelah Bengkel Teater, TD menegaskan penyuaraan moral, kritisisme, dan pemberian kesaksian tentang kehidupan di Indonesia yang membutuhkan banyak perbaikan yang bersungguh-sungguh.
Dikatakan pula konsep teater pembebasan terkandung semua pengertian yang sudah mentradisi tentang teater. Perbedaannya, pementasannya tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tujuan dan segala-galanya. Proses transformasi mental dan kultural dipandang jauh lebih bernilai. Pementasan hanya bagian kecil walaupun tidak begitu saja dinafikan.
Naskah-naskah drama yang dihasilkan tentu saja didominasi oleh tema-tema sosial. Hal tersebut senapas dengan kecenderungan naskah-naskah drama yang diproduksi pada dasawarsa itu. Kemudian yang ditulis adalah persoalan masyarakat yang menyangkut orientasi kehidupan politik dan kekuasaan yang runyam dan kemiskinan yang mewabah. Pilihan tema-tema tersebut tentu bukan sekadar kebetulan atau tren semata. Bisa diartikan bahwa fenomena tersebut merupakan pemihakan bagaimana teks drama berusaha menawarkan aspirasi intelektual dan sesuai dengan persoalan nyata rakyat.
Pada dasawarsa tersebut ditandai naiknya ideologi pembangunan yang cenderung menggerus dan meminggirkan alternatif nilai di luar wilayah yang diabsahkan. Pada situasi seperti itu, tingkat gesekan, persaingan nilai, maupun penolakan dan kritik terhadap praktik-praktik negatif pembangunan menjadi lebih transparan tercerminkan lewat teks-teks drama yang lahir dalam situasi sarat konflik seperti di atas (Benny Yohanes dalam Oposisi Bahasa dalam Teater Orba). Tema-tema yang diangkat di antaranya tema politik, tema kemiskinan, dan tema sosial. Ketiga tema tersebut adalah anyaman persoalan yang saling berkait naiknya praktik pembangunan.
TD, kemudian mengemuka sebagai kelompok teater yang konsisten terhadap pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Oleh karena itu naskah drama yang dipentaskan adalah hasil pergelutan konsep teater pembebasan yang dikerjakan secara kolektif dan atau mementaskan naskah sendiri. Penulis-penulisnya antara lain Emha Ainun Najib, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon HT, Yama Widura, dan Agus Istiyanto, di samping mementaskan naskah drama karya Kuntowijoyo dan Arifin C Noer. Naskah-naskah yang sudah dipentaskan antara lain: `Dinasti Mataram' (Fajar Suharno, 1977), `Geger Wong Ngoyak Macan' (RM Gajah Abiyoso-Emha Ainun Najib), `Patung Kekasih' (Simon HT-Fajar Suharno-Emha Ainun Najib, 1983), `Sepatu Nomer Satu' (Simon HT-Agus Istiyanto, 1985), `Sosok Diam di Kandang Bobrok' (1985), `Keajaiban Lik Par' (ditulis bersama, 1986), `Calon Drs Mul' (Yamawidura, 1987), dan `Mas Dukun' (Yamawidura, 1987).
Sikap Peduli
Beberapa dokumentasi ulasan terhadap TD yang kesemuanya menampakkan sikap kepedulian terhadap kondisi sosial-budaya yang ada, misalnya pada bulan Juni 1983, "Geger Wong Ngoyak Macan" dipentaskan di Taman Budaya Jawa Timur. Pementasan waktu itu seolah melebur jadi satu manfaat hiburan, pendidikan, penerangan, dakwah, dll. Meskipun menggunakan Bahasa Indonesia tapi penuh unsur kearifan lokal. Pada bulan Desember 1987 TD menutup Festival Seni Bulungan dengan menampilkan "Mas Dukun" dengan sutradara Bambang Susiawan.
Menurut Hadi S Purwanto, TD tampaknya sedang berusaha untuk melibatkan penonton dalam pertunjukan dengan mengangkat tema keseharian dalam masyarakat. Dengan konsep kabaret, TD memberikan fenomena kesenian yang nyata dalam puisi dan esai tentang soal yang aktual (Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950-1990).
Pada perkembangan selanjutnya, melalui tubuh TD inilah nantinya melahirkan Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan Teater Gandrik. Pendiri dan penggiat dua kelompok teater tersebut adalah anggota-anggota yang aktif di dalam TD. Tentu saja misinya sama dengan induknya, naskah yang dipentaskan dua kelompok tersebut adalah persoalan sosial tetapi warna pementasan dan teknis penyampaian disesuaikan dengan wilayah garapan, audiens, dan keterlibatan penonton-pemain.
Ciri-ciri tersebut sangat kentara apabila melihat beberapa ulasan pementasan, misalnya yang ditulis oleh Benny Yohanes: ...yang lalu dicapai oleh kekuatan presentasi Teater Gandrik bukan pengajaran, tapi pembebasan bersama. Teater menjadi ruang partisipasi milik bersama, dan setiap komentar sosial atas berbagai persoalan publik yang diledakkan di atas panggung, dapat menjadi sarana pencerahan timbal-balik antara aktor dan penontonnya, untuk sama-sama menakar efek pengobatan kesadaran yang dapat timbul (1999: 246).
Teater Gandrik mampu menajamkan kembali populisme, yang menjadi semangat kerakyatan teater pembebasan. Teater Gandrik lebih banyak mengangkat permasalahan keseharian dengan satu aksentuasi kekinian. Tema wong-cilik dipotret dengan konsep membidik yang low profile sehingga tontonan jadi kosmos yang akrab: tidak menggurui tapi membedah bersama. Dialog-dialognya yang bersenyawa dengan latar belakang budaya para aktornya, yang juga merupakan bagian dari tradisi plesetan .
Kelompok yang kemudian konsisten bergerak di teater pembebasan adalah KTRI. KTRI dalam sepak terjangnya di kemudian hari menjadi bagian integral dari program-program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berusaha mengorganisir rakyat, yaitu masyarakat tertindas yang perlu diberikan penyadaran. Teater pembebasan dengan metodologi yang telah disusun KTRI, dipraktikkan langsung di tengah masyarakat yang dirasa `bermasalah' bagi mereka. Penyadaran terhadap rakyat yang telah dilakukan meliputi di banyak wilayah dan golongan rakyat, seperti petani, buruh, kesehatan, korban penggusuran, dsb.
KTRI sebelum melakukan aktivitas di desa-desa dan masyarakat marjinal di kota-kota di banyak wilayah di Indonesia sudah sejak awal melakukan reproduksi naskah-naskah dan repertoar —yang dikatakan oleh pengamat sebagai `reportoar teater terlibat' atau teater yang lebih kental dengan nuansa-nuansa sosial.3 Waktu itu, KTRI beberapa kali bekerja sama di dalam proyek LSM, bahkan sempat ada tudingan bahwa kesenimanan KTRI semata `orderan proyek' LSM. Oleh mereka, tudingan tersebut dianggap saja sebagai bagian dari sinisme yang dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Artinya, banyak sudah proses-proses seni-budaya-terlibat yang sebelumnya telah dilakukan KTRI terutama yang mendukung upaya pencerahan dan pendidikan rakyat.
Joko Kamto (saat ini aktif di Kyai Kanjeng) bersama Simon HT, Agus Istiyanto, Eko Winardi, dan Angger Jati Wijaya yang menggerakkan roda KTRI adalah salah satu kelompok yang konsisten dalam teater pembebasan, di samping nama-nama dan kelompok teater pembebasan yang lain. Teater pembebasan yang tumbuh marak di tahun 1980-an di kemudian hari mengalami kemandekan. Sebabnya barangkali kalau di tahun-tahun tersebut teater efektif sebagai media pendidikan maka di zaman yang serba digital-cyber ini segala sesuatu yang ditawarkan tentu lebih beragam dan mampu menjawab segala kebutuhan rakyat. Nah, hal ini sangat berkaitan dengan `mental korban kapitalisme' dan pendidikan yang gagal, bukan?
*) Hasta Indriyana, setelah menepatkan studinya di FBS Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY) dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY),
kini aktif dalam Komunitas Budaya Tanda baca, menjabat Sekretaris
Koperasi. Tulisannya dimuat di Horison, Kedaulatan Rakyat, Koran
Tempo, Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaharuan, Nova,
Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dsb. Tulisannya terkumpul dalam
antologi komunal. Bukunya `Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta'
(Jendela, 2003), `Perempuan Tanpa Lubang' (Pinus, 2004), `Di
Panggung Kota Bicara!!' (Insist, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar