September 1937, Teguh Karya yang oleh rekan terdekatnya akrab
dipanggil Om Steve, adalah sutradara film pelanggan piala citra. Dia
layak disebut suhu teater Indonesia yang banyak melahirkan sineas-
sineas terkemuka. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru,
sekaligus teman.
Beberapa aktor-aktris film Indonesia yang layak disebut sebagai
bentukan Teguh, sebab mereka menjadi berjaya dan populer setelah
membintangi film-film Teguh Karya, antara lain Slamet Rahardjo
Djarot, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex
Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm),
George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Ninik L. Karim,
dan Ayu Azhari.
Setali tiga uang, Teguh pun seakan menjadi abadi sebagai sutradara
terbaik spesialis peraih Piala Citra, untuk setiap karya-karya film
terbarunya. Dan bersamaan itu, film yang disutradarainya, sering pula
terpilih menjadi film terbaik yang dianugerahi Piala Citra.
Sejumlah judul film karya Teguh yang berhasil mengangkat nama
sutradara dan pemain bintangnya, diantaranya, Wajah Seorang Laki-Laki
(1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari
(1975), Perkawinan Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977),
November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit
(1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan
Kereta (1986).
Film pertama karya Teguh di tahun 1968 adalah film untuk anak-anak.
Film serius konsumsi dewasa untuk pertama kali dihasilkannya pada
tahun 1971, dan langsung menyabet beberapa penghargaan untuk kategori
akting maupun penyutradaraan terbaik.
Karir dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik
penulisan skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film
Negara (kini PPFN). Saat itu, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) periode 1968-1972 ini antara lain berkesempatan bekerja pada
sutradara D. Djajakusuma, Nya Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim
Umboh, dan Asrul Sani, baik itu sebagai penata artistik, pemain, atau
asisten sutradara.
Ketika film layar lebar bermedium pita seluloid meredup sementara
waktu di awal tahun 1990-an, untuk digantikan layar kaca yang marak
muncul dengan kehadiran stasiun teve baru, Teguh pun sempat mengubah
medium seninya. Ia berkesempatan menghasilkan karya film sinema
elektronik (sinetron) untuk televisi, seperti Pulang (1987), Arak-
Arakan (1992), dan Pakaian dan Kepalsuan (1994).
Ia pertama-tama melakoni seni sebagai pemain drama, antara tahun 1957
hingga 1961. Teguh, yang waktu itu masih menggunakan nama lahir Steve
Liem Tjoan Hok, sudah sering tampil di panggung dalam pementasan-
pementasan yang diadakan oleh ATNI (Akademi Teater Nasional
Indonesia).
Lalu, secara akademis Teguh Karya menyelesaikan pendidikan seni di
berbagai perguruan tinggi. Seperti, di Akademi Seni Drama dan Film
(Asdrafi) Yogyakarta (tahun 1954-1955), Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI, 1957-1961), kemudian ke luar negeri East West Center
Honolulu, Hawai (1962-1963) untuk belajar akting atau art directing.
Kemampuan akademis itu kemudian dipadukan dengan pergaulannya yang
intens dengan beberapa tokoh teater dan sutradara film legendarias,
seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang banyak
mempengaruhi proses berkeseniannya. Teguh turut aktif membidani
kelahiran Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, di tahun 1962.
Sejak tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer, yang hingga akhir
hayat adalah kebanggaan sekaligus `kenderaan' seni yang tetap
difungsikan. Ia mendirikan sanggar seninya di Jalan Kebon Kacang,
Tanah Abang, Jakarta Pusat yang juga rumah kediamannya. Rumah ini
disulap menjadi sanggar kreatif para seniman terkemuka di Tanah Air.
Melalui Teater Populer, Teguh yang masih menggunakan nama Steve Liem,
berkesempatan membentuk dan melahirkan banyak aktor serta aktris
kenamaan.
Dari Teater Populer, banyak sineas baru mengikuti jejak Teguh untuk
serius menapaki karir di industri perfilman. Tak heran jika Teguh
dijuluki pula sebagai `Suhu Teater Indonesia'. Di antara pementasan
Teater Populer yang mendapat sambutan meriah, adalah Jayaprana,
Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973),
dan Perempuan Pilihan Dewa (1974). Banyak kritikus seni menilai,
beberapa lakon panggung yang disutradarai Teguh Karya berhasil
mencapai puncak eksplorasi.
Walau lahir dengan nama Liem Tjoan Hok, Teguh lebih merasa sebagai
orang Banten. Ia memiliki seorang nenek kelahiran Bekasi, namanya
Saodah, serta seorang sahabat Mang Dulapa, sais delman yang rutin
membawa Teguh pulang pergi ketika masih duduk di bangku SD
Pandeglang.
Memasuki bangku SMP, Teguh pindah ke Jakarta, menumpang di rumah
Engku Dek pamannya. Anak pertama dari lima bersaudara pedagang
kelontong ini kemudian mewarisi kegemaran membaca dari sang paman.
Teguh boleh mendapat nilai jelek untuk aljabar dan ilmu ukur, namun
untuk pelajaran sejarah, menggambar, dan bahasa ia selalu unggul.
Sepulang dari studi art directing di Hawai, Teguh bekerja sebagai
manajer panggung di Hotel Indonesia. Karena itu, Teater Populer yang
Teguh lahirkan tahun 1968 dimaksudkan pula untuk mengisi acara-acara
di Hotel Indonesia. Jadilah teater pengusung aliran realisme ini,
awalnya lebih dikenal sebagai Teater Populer Hotel Indonesia. Pemain
pendukungnya sebagian besar adalah mahasiswa ATNI serta para penggiat
teater independen.
Identitas kelahiran Teater Popuper, salah satunya, bersemangat
menggali sisi keaktoran (kesenimanan) seseorang, untuk kemudian
diekspresikan sebagai medium perwujudan sebuah pencapaian artistik
tertentu. Teater Populer terlihat sangat `akademis' mengungkapkan
gagasan-gagasan teatrikal di atas panggung. Suguhan yang formal-
akademis itu untuk mengejawantahkan teori-teori realisme, yang
pembawaannya dimulai oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D.
Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. Realisme itulah
yang berhasil diserap Teguh saat kuliah di ATNI tahun 1957-1961.
Tentang pilihan hidupnya untuk tak menikah, Anggota Dewan Film
Nasional (DFN) penerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1969), ini menyebutkan, karena di dalam dirinya
ada `kamar-kamar' untuk kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk
lain-lain. Bicara soal perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum
tentu sama untuk setiap orang. Ia mengaku sewaktu di SMA pernah
beberapa kali pacaran, tetapi sang pacar selalu saja tidak tahan
karena acapkali ditinggal menghadiri ceramah dan berbagai kegiatan
kesenian lainnya.
Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang,
menghembuskan nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat,
pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke
menyerang otak bagian memori sejak tahun 1998. Walau hari-hari akhir
dihabiskan di atas kursi roda, sesungguhnya stroke tak membuat
badannya lumpuh total melainkan otak bagian memorilah yang tak lagi
mampu bekerja maksimal, seperti merespon pembicaraan.
Teguh adalah pria yang selalu berpenampilan sederhana, sangat
dicintai dan disayangi oleh teman-teman seprofesi, maupun para
seniman lain. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru,
sekaligus teman.
Sebelum meninggal dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
beserta istri Ny. Sinta Nuriyah, berkesempatan mengunjungi Teguh
Karya, di rumah kediamannya, Kebon Kacang, Tanah Abang. Gus Dur yang
pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuai janji
datang mengunjungi sohib yang sudah lama direncanakan itu. Keduanya
berbincang-bincang selama satu jam, bernostalgia.
dipanggil Om Steve, adalah sutradara film pelanggan piala citra. Dia
layak disebut suhu teater Indonesia yang banyak melahirkan sineas-
sineas terkemuka. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru,
sekaligus teman.
Beberapa aktor-aktris film Indonesia yang layak disebut sebagai
bentukan Teguh, sebab mereka menjadi berjaya dan populer setelah
membintangi film-film Teguh Karya, antara lain Slamet Rahardjo
Djarot, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex
Komang, Dewi Yul, Rae Sahetapi, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon (Alm),
George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Ninik L. Karim,
dan Ayu Azhari.
Setali tiga uang, Teguh pun seakan menjadi abadi sebagai sutradara
terbaik spesialis peraih Piala Citra, untuk setiap karya-karya film
terbarunya. Dan bersamaan itu, film yang disutradarainya, sering pula
terpilih menjadi film terbaik yang dianugerahi Piala Citra.
Sejumlah judul film karya Teguh yang berhasil mengangkat nama
sutradara dan pemain bintangnya, diantaranya, Wajah Seorang Laki-Laki
(1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari
(1975), Perkawinan Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977),
November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit
(1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan
Kereta (1986).
Film pertama karya Teguh di tahun 1968 adalah film untuk anak-anak.
Film serius konsumsi dewasa untuk pertama kali dihasilkannya pada
tahun 1971, dan langsung menyabet beberapa penghargaan untuk kategori
akting maupun penyutradaraan terbaik.
Karir dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik
penulisan skenario film-film semi dokumenter, pada Perusahaan Film
Negara (kini PPFN). Saat itu, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) periode 1968-1972 ini antara lain berkesempatan bekerja pada
sutradara D. Djajakusuma, Nya Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim
Umboh, dan Asrul Sani, baik itu sebagai penata artistik, pemain, atau
asisten sutradara.
Ketika film layar lebar bermedium pita seluloid meredup sementara
waktu di awal tahun 1990-an, untuk digantikan layar kaca yang marak
muncul dengan kehadiran stasiun teve baru, Teguh pun sempat mengubah
medium seninya. Ia berkesempatan menghasilkan karya film sinema
elektronik (sinetron) untuk televisi, seperti Pulang (1987), Arak-
Arakan (1992), dan Pakaian dan Kepalsuan (1994).
Ia pertama-tama melakoni seni sebagai pemain drama, antara tahun 1957
hingga 1961. Teguh, yang waktu itu masih menggunakan nama lahir Steve
Liem Tjoan Hok, sudah sering tampil di panggung dalam pementasan-
pementasan yang diadakan oleh ATNI (Akademi Teater Nasional
Indonesia).
Lalu, secara akademis Teguh Karya menyelesaikan pendidikan seni di
berbagai perguruan tinggi. Seperti, di Akademi Seni Drama dan Film
(Asdrafi) Yogyakarta (tahun 1954-1955), Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI, 1957-1961), kemudian ke luar negeri East West Center
Honolulu, Hawai (1962-1963) untuk belajar akting atau art directing.
Kemampuan akademis itu kemudian dipadukan dengan pergaulannya yang
intens dengan beberapa tokoh teater dan sutradara film legendarias,
seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang banyak
mempengaruhi proses berkeseniannya. Teguh turut aktif membidani
kelahiran Badan Pembina Teater Nasional Indonesia, di tahun 1962.
Sejak tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer, yang hingga akhir
hayat adalah kebanggaan sekaligus `kenderaan' seni yang tetap
difungsikan. Ia mendirikan sanggar seninya di Jalan Kebon Kacang,
Tanah Abang, Jakarta Pusat yang juga rumah kediamannya. Rumah ini
disulap menjadi sanggar kreatif para seniman terkemuka di Tanah Air.
Melalui Teater Populer, Teguh yang masih menggunakan nama Steve Liem,
berkesempatan membentuk dan melahirkan banyak aktor serta aktris
kenamaan.
Dari Teater Populer, banyak sineas baru mengikuti jejak Teguh untuk
serius menapaki karir di industri perfilman. Tak heran jika Teguh
dijuluki pula sebagai `Suhu Teater Indonesia'. Di antara pementasan
Teater Populer yang mendapat sambutan meriah, adalah Jayaprana,
Pernikahan Darah (1971), Inspektur Jenderal, Kopral Woyzeck (1973),
dan Perempuan Pilihan Dewa (1974). Banyak kritikus seni menilai,
beberapa lakon panggung yang disutradarai Teguh Karya berhasil
mencapai puncak eksplorasi.
Walau lahir dengan nama Liem Tjoan Hok, Teguh lebih merasa sebagai
orang Banten. Ia memiliki seorang nenek kelahiran Bekasi, namanya
Saodah, serta seorang sahabat Mang Dulapa, sais delman yang rutin
membawa Teguh pulang pergi ketika masih duduk di bangku SD
Pandeglang.
Memasuki bangku SMP, Teguh pindah ke Jakarta, menumpang di rumah
Engku Dek pamannya. Anak pertama dari lima bersaudara pedagang
kelontong ini kemudian mewarisi kegemaran membaca dari sang paman.
Teguh boleh mendapat nilai jelek untuk aljabar dan ilmu ukur, namun
untuk pelajaran sejarah, menggambar, dan bahasa ia selalu unggul.
Sepulang dari studi art directing di Hawai, Teguh bekerja sebagai
manajer panggung di Hotel Indonesia. Karena itu, Teater Populer yang
Teguh lahirkan tahun 1968 dimaksudkan pula untuk mengisi acara-acara
di Hotel Indonesia. Jadilah teater pengusung aliran realisme ini,
awalnya lebih dikenal sebagai Teater Populer Hotel Indonesia. Pemain
pendukungnya sebagian besar adalah mahasiswa ATNI serta para penggiat
teater independen.
Identitas kelahiran Teater Popuper, salah satunya, bersemangat
menggali sisi keaktoran (kesenimanan) seseorang, untuk kemudian
diekspresikan sebagai medium perwujudan sebuah pencapaian artistik
tertentu. Teater Populer terlihat sangat `akademis' mengungkapkan
gagasan-gagasan teatrikal di atas panggung. Suguhan yang formal-
akademis itu untuk mengejawantahkan teori-teori realisme, yang
pembawaannya dimulai oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D.
Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. Realisme itulah
yang berhasil diserap Teguh saat kuliah di ATNI tahun 1957-1961.
Tentang pilihan hidupnya untuk tak menikah, Anggota Dewan Film
Nasional (DFN) penerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1969), ini menyebutkan, karena di dalam dirinya
ada `kamar-kamar' untuk kreativitas, sahabat, negeri, dan kamar untuk
lain-lain. Bicara soal perkawinan, kata Teguh, urutan kamarnya belum
tentu sama untuk setiap orang. Ia mengaku sewaktu di SMA pernah
beberapa kali pacaran, tetapi sang pacar selalu saja tidak tahan
karena acapkali ditinggal menghadiri ceramah dan berbagai kegiatan
kesenian lainnya.
Teguh Karya, yang sepanjang hayat memilih hidup melajang,
menghembuskan nafas terakhir kali di RSAL Mintohardjo, Jakarta Pusat,
pada 11 Desember 2001 di usia 64 tahun, setelah terserang stroke
menyerang otak bagian memori sejak tahun 1998. Walau hari-hari akhir
dihabiskan di atas kursi roda, sesungguhnya stroke tak membuat
badannya lumpuh total melainkan otak bagian memorilah yang tak lagi
mampu bekerja maksimal, seperti merespon pembicaraan.
Teguh adalah pria yang selalu berpenampilan sederhana, sangat
dicintai dan disayangi oleh teman-teman seprofesi, maupun para
seniman lain. Bagi para seniman ia dianggap sebagai bapak, guru,
sekaligus teman.
Sebelum meninggal dunia, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
beserta istri Ny. Sinta Nuriyah, berkesempatan mengunjungi Teguh
Karya, di rumah kediamannya, Kebon Kacang, Tanah Abang. Gus Dur yang
pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuai janji
datang mengunjungi sohib yang sudah lama direncanakan itu. Keduanya
berbincang-bincang selama satu jam, bernostalgia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar