Kritik Seni
~Tulisan ini pernah di posting di Milis ngobrolin teater pada 26 april 2005~
Oleh: Mudji Sutrisno*
PEMBAHASAN mengenai estetika dalam karya seni, baik itu sastra, lukisan, maupun seni pertunjukan (tari, teater, dan lain-lain), sampai hari ini secara mencolok berada dalam dua arus. Arus pertama adalah resensi seni yang mau mencoba memberi apresiasi dari dalam serta dari kode yang dipunyai oleh karya itu sendiri. Pendekatan dari dalam atau intrinsik adalah pendekatan yang mencoba memahami rasa, panas, dan dingin yang mau diungkapkan oleh seniman atau sastrawan lewat karyanya. Para kritikus seni mencoba memberi apresiasi dalam karya sastra misalnya lewat tema, penokohan tunggal atau ganda, alur kisah, tegangan yang merupakan kode-kode intrinsik karya sastra kalau mau dipahami dari dalam karya itu sendiri.
Arus kedua adalah pendekatan dari luar ke karya seni melalui disiplin ilmu atau kacamata kode ilmu itu untuk membedah karya tersebut. Pendekatan ini disebut ekstrinsik karena, misalnya, mau membedah posisi karya sastra dari bingkai hubungan kemasyarakatan di dalam sosiologi sastra. Segi menguntungkan dari pendekatan baik intrinsik maupun ekstrinsik adalah disadarinya pendekatan subyektif dalam kritik ekstrinsik, sementara pendekatan intrinsik memberi obyektivitas untuk penilaian karya itu. Namun persoalan dalam kritik seni kita berkembang lebih rumit dari sekadar kritik subyektif ataupun kritik obyektif. Beberapa kekurangan bingkai dan pisau kritik lewat kerajinan membaca dan mengerti sejarah kritik estetika itu sendiri manakala tiap pemikir maupun arus estetika mulai dari realisme-naturalisme, abstrak, simbolisme, surealisme, sampai yang hanya mau merayakan kebebasan masing-masing seniman mengungkap keindahan dan kebenaran menurut bacaannya sendiri dalam postmodernisme, telah menyebabkan dua ekstrem yang terjadi dalam kritik seni kita-atau jatuh dalam pembantaian kritikan yang amat sangat subyektif dari kritikus-atau jatuh pada anarkisme yang membolehkan apa saja yang gila, abnormal, aneh sebagai estetika.
Kegawatan menelusuri soal kritik seni adalah kegawatan yang saling menghantam antara penentuan pokok-pokok kriteria tradisi besar yang dengan otoritas modernisme menegaskan proyek estetika sebagai proses yang harus lewat pengendapan rasional, publik mampu menangkap keberlakuan umum rasa estetika dalam rumusan titik-titik estetika yang oleh kaum idealis seperti Hegel dan Kant dirumuskan sebagai tragis, asri, sublim, lucu, dan tanpa pamrih. Semua ukuran ini bertolak dari pengandaian bahwa estetika harus bisa dipahami dan diukur dengan rasionalitas budi, sementara rasionalisasi model ini menghabiskan seluruh pathos, rasa, emosi yang dianggap lebih rendah tempatnya daripada refleksi budi.
Siapa penentu sebuah lukisan atau karya seni masuk dalam ukuran di atas? Siapa pula yang menentukan galeri dan tempat pameran yang sah untuk karya-karya seni tersebut kalau bukan otoritas dan penguasa pemilik tafsiran estetika itu sendiri? Apalagi setelah kesadaran proses mengetahui dan seni merupakan epistem serta estetika yang ditentukan untuk menguasai oleh Michel Foucault? Bukankah setiap pengenalan mengenai realitas dan pengungkapannya kembali dalam ekspresi seni merupakan keragaman cara membaca setiap seniman yang dalam paradigmanya (Thomas Kuhn: tiap orang dalam mengetahui lebih ditentukan oleh sudut pandangnya sendiri dalam paradigma yang tidak pernah sama dengan orang lain dan bukan oleh konseptualisasi serta diskursus teoretis epistemologi yang kita kenal), amat ditentukan oleh tradisi lisan pengetahuan lokal, peresapan, dan penghayatan watak entitas suku dan kebijaksanaan lokal yang dihidupi dan dihayati menjadi apa yang oleh Pierre Bourdieau dinamai habitus. Terlebih Sandra Harding meneliti bahwa world view (pandangan dunia) telah melucuti seluruh emosi dan rasa perempuan hingga pandangan dunia bias jender. Dari sini semakin disadari bahwa resensi seni pertama-tama harus kembali pada tempat seni itu diproses, yaitu dalam ritus untuk melahirkan, merawat, dan membuahi kehidupan, dan festival atau perayaan kehidupan dari oasis dan ruang pemuliaan gairah hidup dan motivasi hidup.
Dalam tradisi festival dan ritus seni dikenal apa yang oleh F Nietzche disebut dionisian, yaitu estetika dengan gelora dan gelegak kehendak untuk hidup yang dalam tradisi Yunani kuno menyumberi baik ritus puja kehidupan maupun festival kerakyatan dengan ekstasis dan ekspresi luapan spontannya. Seni dionisian ini menurutnya telah dikerdilkan dan direduksi oleh peradaban rasionalitas sejak Socrates ke barat modern dalam seni apollonian yang refleksif rasional, formal, konseptual, dan kering gairah pathos.
Dengan demikian, usaha mengembalikan kritik seni ke habitat aslinya adalah dengan menaruhnya kembali ke naluri purba yang melahirkan, mencintai, dan membuahi kehidupan. Karena itu, di bawah ini bisa direnungi bagaimana kekayaan keragaman tradisi estetika Nusantara yang bersumber pada penghayatan, penghidupan, perayaan yang mahakaya dan lisan sebelum dikonstruksi dan disempitkan dalam bahasa tulis, apalagi bahasa konsep.
Pertama, pendekatan live in untuk menangkap roh hidup inspirasi seni; konteks perayaan dan festivalnya yang bersumber dari adat, religiusitas, keyakinan dan estetika kesuburan dalam tradisi petani; religiusitas dalam tradisi pesisir serta inti pemuliaan nomaden merantau sebagai guru; akan membuat kritik seni dan apresiasinya menjadi tidak membantai posisi seni dalam kehidupan.
Kedua, kritikus semogalah rajin membaca setiap perumusan sejarah estetika tidak hanya sebagai keragaman para filsuf, tradisi tulis, merumuskan apa yang sedang dihayati sebagai indah, benar, dan baik. Konsekuensinya, konstruksi bahasa rumus adalah teks yang mencoba mengisahkan secara kode bahasa apa yang pasti lebih kaya kalau itu dihayati sendiri dalam live in kultural. Pembacaan sejarah ini penting untuk menaruh ragam cermin ketika kritikus sendiri sedang membuat resensinya yang merupaka satu cermin baru lagi yang mencoba dialog dengan cermin-cermin yang lain. Konsekuensinya berikutnya, pemahaman mengenai munculnya media seni instalasi karena keterbatasan ruang kanvas lukis atau halaman buku untuk membahasakan kepingan kehidupan yang mau digarap seniman membutuhkan sungguh pembelajaran tidak hanya simbolisme seni, tetapi arus-arus anti-estetika modernitas dalam estetika postmodernitas.
Ketiga, dalam budaya mutakhir di mana produksi komoditas bersanding dengan produksi simbolik makna dan penggairahan provokatif lewat iklan yang merangsang basic instinct untuk mengonsumsi terus-menerus dan menuruti selera yang diciptakan oleh penguasa pasar, pemahaman dan penulisan kritik seni mesti bisa melihat sisi the sacred dalam komoditas konsumtif sekaligus yang simbolik dari citraan-citraan dunia hiburan agar erosi nilai pembendaan diketahui kapan mulainya. Sejak uang sebagai nilai tukar mengganti kreativitas, inspirasi, jerih keringat dan pergulatan seniman ketika berproses kreatif. Akibatnya rupiah dan dolar mereduksi karya seni menjadi melulu komoditas. Mampukah kritik seni keluar dari makian dan menuding kapitalisme sebagai biang tanpa mencoba menanggapi secara cerdas, kultural, dan alternatif yang memaksa penguasa pasar menghargai sumber berkesenian sebagai perayaan hidup dalam festival? *
Tulisan ini pernah di posting di Milis ngobrolin teater pada 26 april 2005
Mudji Sutrisno SJ, Pengajar Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.
Mudji Sutrisno SJ, Pengajar Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar