Minggu, 17 Agustus 2008

Mengena(l)i Absurd

Samuel Beckett, seperti yang dapat kita ketemukan dalam literatur, adalah orang Irlandia yang kemudian tercangkok ke kota Paris. Ia menjadi salah seorang dari 'kelompok' penulis absurd di kota itu. Ia terkenal dengan tekniknya yang orisinal dan bahasanya yang sederhana dan persis.
Filsafat hidupnya adalah pesimisme yang ekstrem. Baginya, akal manusia tidak dapat membangun tata kehidupan yang sempurna di muka bumi. Apa yang disebut kebenaran, tidak ada. Perbuatan manusia tidak punya arti, seperti juga pikiran manusia, tidak disinari keindahan
dan kebaruan. Hidup sebagai keseluruhan, panjang dan terpanggang oleh kebosanan. Manusia dikontrol oleh impuls-impuls yang berlawanan dengan kecenderungan untuk hidup. Ia tidak punya harapan dan menjadi korban yang tagis dari kekuatan-kekuatan alamiah yang deterministik.

Tidak ada harapan dalam berkomunikasi dengan orang lain, karena kita adalah bukan kenyataan dan hanyalah kepalsuan terhadap satu sama lain. Pengetahuan mengenai orang lain dan mengenai diri sendiri tidak mungkin dikuasai. Manusia pada hakekatnya adalah lumpuh secara
intelektual dan emosional, dan ia berjuang untuk hidup di sebuah semesta yang tak jelas tujuannya. Dalam Waiting for Godot (1957) kita melihat kondisi manusia yang menunggu dalam duka-nestapa salvasi yang tak kunjung tiba. Endgame (1957) melukiskan sebuah koleksi makhluk tak berdaya dalam sebuah kamar serupa sel. Ini melukiskan frustrasi manusia yang tak berdaya itu.

Jean Genet adalah seorang pengarang Prancis. Namun kalau melihat potret dirinya di buku-bukunya, orang bisa keliru besar. Wajahnya mirip pengarang Indonesia yang bernama Gerson Poyk (diwaktu berusia 35 tahun): Akan tetapi yang terakhir ini bukan pengarang yang
menyerah atau menceburkan diri ke dalam absurditas lalu bermabuk-mabuk di sana. Ia memiliki pengertian (nation) dan perasaan (feeling) terhadap absurditas tetapi selalu berusaha untuk tidak hanyut dan tenggelam dalam absurditas. Genet adalah orang yang terlempar keluar dari keluarga dan masyarakat karena ia adalah pencuri dan memiliki kelainan seks. Ketika ia hampir dipenjarakan seumur hidup, ia dimaafkan karena adanya protes dari dunia kesusastraan Prancis. Pemandangan hidupnya jelas timbul dari riwayat hidupnya yang dahsyat itu. Genet merasakan bahawa hidup itu sendiri tidak jelas. Dunia adalah iluisi yang menggoda manusia dengan mengatakan bahwa hidup ini punya arti. Genet tidak bisa digoda. Ia tetap dengan 'iman' yang mengatakan bahwa hidup ini ilusi. Hidup tak punya arti dan perbuatan (aksi) manusia sia-sia, tak bernilai. Dendam yang membunuh tidak lebih jelek dari cinta. Ya, dendam dan cinta
berjalan erat. Penggunaan kekuasaan adalah salah satu dari penyebab terbesar timbulnya setan-iblis dan penderitaan manusia. Penguasa manusia tidak memiliki kekuasaan yang jelas. Kekuasaan mereka adalah ilusi. Mereka adalah manusia dangkal yang bermain dengan kenyataan seperti orang lain.
Manusia kriminil adalah manusia yang jujur karena dengan tingkah laku iblisnya mereka terusir dan diusir dari masyarakat hipokrit (munafik). Dengan demikian manusia kriminil betul-betul hidup dalam integrasi diri, terbebas dari tipu daya dan korupsi dalam masyarakat. Segala nilai penuh dengan kebalikan atau pertentangan. Perbuatan yang baik yang diperintahkan Tuhan untuk dilestarikan tidak perlu ditaati manusia. Manusia merdeka untuk membalik perintah suci demi untuk kebebasan iblis melakukan perbuatan baik.
Karena drama-drama Genet sesuai dengan sikapnya yang berlawanan dengan Tuhan, maka dalamnya terdapat himbauan untuk menolak masyarakat, sekaligus pandangan rasional yang baginya sia-sia.
Iblis yang beraksi di atas panggung adalah iblis yang ritual yang dipertahankan oleh kambinghitam ritual pula. Para kambinghitam itu adalah kriminal seperti juga korban-korban mereka. Mereka dihormati sebagai orang suci karena perasaan mereka yang sulit.
Dalam karyanya The Maids (1947), anak-anak lelaki bermain sebagai pelayan wanita yang pada gilirannya berperan sebagai mistress dan pelayannya bermaksud untuk membunuh sang mistress. Karyanya The Balcony (1956) adalah sebuah visi imajinatif tentang para pelacur dan
para tamunya yang pura-pura menjadi tokoh politik.

Eugene Ionesco, walaupun dilahirkan di Rumania namun ia hidup di Prancis dan menulis sebagai orang Perancis. Ia menganggap manusia itu lucu dan tragis. Tidak ada satu sikap pun dapat menanggulangi kondisi manusia yang demikian kompleks. Di atas segalanya kondisi manusia itu absurd dan tanpa harapan. Manusia yang memiliki keinginan yang tak terbatas hanya mampu membawa keinginan itu kepada kegagalan demi kegagalan. Ionesco mengkomunikasikan pandangan di atas dengan peristiwa-peristiwa tak wajar yang padat, runtun, dengan dialog-dialog yang tak punya arti dan kejutan-kejutan yang runtun melalui props dan scenery. Ionesco punya keyakinan bahwa bahasa manusia tidak mampu menggambarkan kedalaman perasaan manusia sehingga ia membiarkan tokoh-tokohnya berceloteh memakai bunyi-bunyi yang tak punya arti. Tokoh sentralnya harus bertempur melawan masyarakat, melawan kekuatan alam, dan dirinya sendiri. Puncak dari pertempuran itu adalah tragedi yang menimpa individu.
Dalam karyanya The Chairs (1952) sepasang suami isteri melompat keluar dari jendela setelah menyewa seorang orator yang berceloteh secara gila-gilaan tentang keselamatan (salvasi) kepada kursi-kursi kosong yang memenuhi ruangan. Rhinoceros (1959) melukiskan transformasi gradual semua manusia kepada keributan binatang-binatang buas yang tak dapat berpikir.

Sejak tahun 1959 tiga orang penulis lakon Amerika telah memunculkan off-Broadway. Mereka adalah Jack Golber, Jack Eichardson dan Edward Albee.

The Connection karya Gelber mengisahkan pecandu obat bius dan homo. Seluruh presentasi dalam karyua ini realistik. Dia tidak mengutuk atau memaafkan.

Edward Albee menulis drama pendek antara 1958 dan 1960. The Zoo Story, The Death of Bessie Smith, The Sandbox, dan The American Dream. Keempatnya dipentaskan di New York pada tahun 1960-1961. The Zoo Story mengisahkan tentang manusia konvensional yang dipaksa untuk membunuh orang lain sebab ia hanya bisa berkomunikasui dengan orang lain melalui kematian, Bessie Smith mengisahkan kematian seorang wanita akibat ostrasisme sosial (pengucilan oleh masyarakat). Semua tokoh dalam drama ini terperangkap dalam kondisi manusiawi. Tokoh yang sama muncul dalam The Sandbox dan The American Dream. Tokoh-tokoh utama adalah pasangan Amerika yang tipikal. Perempuan didominasi dan pria dilumpuhkan, ditakberdayakan. Anak dalam drama itu disekap oleh afeksi dan restriksi sehingga akhirnya tiada yang tersisa pada anak itu kecuali sebuah tong kosong. Who isAfraid of Virginia Woolf? adalah karya Albee yang kesohor. Kisah tentang martha dan George, sepasang manusia terpelajar. Albee mempergunakan tekhnik argumentasi dan histeria yang prograsif untuk mengungkapkan siapa mereka (tokoh-tokoh) itu. Akhirnya segala sesuatu lenyap dan yang tertinggal hanyalah kebencian, kecemburuan, kegilaan dan hawa nafsu.Para tokoh dalam drama-drama absurd pada umumnya tipikal anti-hero, grotesk dan sedikit sekali hubungannya dengan kenyataan. Teater Absurd, dalam hubungannya/fenomena dramatik, sesungguhnya tidaklah tragis dalam arti tradisional.

Dalam tragedi tradisional, sang hero ada hubungannya dengan penonton. Penonton menaruh simpati, berbagi rasa duka-nestapa kemanusiaan. Nasib sang hero dirasakan tragis karena tragedi sang hero menyelusup ke dalam jiwa penonton dan semua anak insan. Dalam drama absurd, sang hero atau anti-hero adalah makhluk setengah manusia (atau lebih dari setengah manusia). Para penonton akan segera merasa tidak ada hubungan yang real dengan 'manusia' yang demikian itu. Hal ini menyebabkan penonton merasa superior terhadap manusia yang demikian itu, manusia anti-hero tersebut, bahkan bisa jadi penonton mengutuk sang anti hero tersebut. Bukan simpati, bukan berbagi rasa kemanusiaan yang dalam tetapi hanya menertawakannnya. Bukan tragik tetapi komik. Semua ini disebabkan pandangan penonton tidak lagi melihat aspek keharuan yang universal kecuali lelucon konyol. Bukankah pesimisme melihat manusia sebagai makhluk konyol total?

Teater absurd di Eropa dan Amerika bukannya berkembang sendiri, terisolir dari disiplin intelektual dan sastra Barat. Sementara drama-drama naturalistik tradisional dengan plot yang disusun teliti dilahirkan, tiba-tiba terjadi revolusi dalam penulisan. Semua ini pada mulanya dipengaruhi oleh novelis besar abad ke-20 seperti Michael Prost, Franz Kafka, James Joyce dan Thomas Mann. Mereka adalah penulis semasa yang bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru dan kurang tergantung pada Struktur tradisional. Mereka lebih tergantung pada logika artistik unik yang timbul dari imajinasi individual. Orang yang paling berpengaruh adalah Sartre.

Para penulis 'baru' atau penulis 'anti-novel' paralel dengan para penulis drama 'anti-hero' atau drama absurd.

Novelis seperti Nathalie Sarraute menekankan absurditas pada bahasa dan kurang adanya komunikasi antara peristiwa-peristiwa dan kehidupan manusia. Seperti halnya drama-drama absurd, novel yang demikian itu memiliki sedikit struktur dan hanya merupakan runtunan scenes dan fragmen-fragmen yang merupakan sketsa sebuah dunia non-rasional
kehidupan manusia. Para penulis absurd cenderung menolak semua ideologi. Mereka hanya mengkhotbahkan pesan-pesan diri mereka sendiri, pesan yang bukan pesan sama sekali.

Selain pengaruh dari para novelis dan filsuf yang disebut di atas, saya melihat ada pengaruh yang datang dari masa PerangDunia I. Pada waktu Samuel Beckett berusia 10 tahun Dadaisme muncul. Dadaisme atau lebih dikenal dengan sebutan Dada saja, dilahirkan di sebuah tempat pertunjukan yang bernama Cabaret Voltaire, tahun 1916. Penemunya adalah orang yang bernama Tristan Tzara, orang Rumania seperti Ionesco tetapi hidup sehari-hari dengan bahasa Perancis.

Pada tahun 1918 bulan Maret, di Swiss Tristan Tzara mamproklamasikan Manifesto Dada. Andre Breton dan Louis Aragon yang kemudian menjadi pemimpin gerakan Dada pada waktu itu masih berada di front. Ketika kedua serdadu muda ini pulang, mereka bergabung dengan Paul Eluard dan lain-lain mendirikan majalah Literature yang segera berkembang sebagai pusat pertemuan kaum Dada. Mereka mengundang Tristan Tzara ke Paris pada Tahun 1920. Tristan Tzaea diperkenalkan kepada publik. Ia membacakan sebuah artikel suratkabar sementara sebuah bel listrik berdering keras sehingga tidak ada seorang pun yang mendengarkan.
Penonton bergemuruh entah karena setuju atau menolak. Musuh-musuh Dada menyiarkan penerbitan anti-Dada yang berjudul Non. Mereka mengatakan, kaum Dada adalah orang-orang gila. Di tempat lain kaum Dada dilempari dengan telor busuk, sayuran, uang logam dan daging
bistik. "Sungguh sukses yang dahsyat" tulis Tzara. Dalam kesempatan lain Tzara menulis, "Saya ini musuh segala manifesto karena saya anti segala prinsip. Dada tidak punya roti." Namun gerakan tanpa arti ini dinyatakan lewat manifesto.

Dada membukan dunia baru tetapi apa yang ditulis oleh parta Dadais adalah dunia mereka sendiri. Mereka adalah Aleksander Agung yangberjalan ke negeri yang tak dikenal. Mereka membawa balatentara setan ke kerajaan bayangan. Para Dada mengambil prinsip yang diambil dari para filsuf romantik Jerman yang berpendapat seni tidak ada hubungannya dengan moral. Perbuatan atau pun kesenian haruslah ngedada. Kaum Dada sangat anti terhadap perasaan manusia. Dunia, bagi kaum Dada berada dalam genggaman kaum bandit, dalam keadaan gila, agresif.

Sayangnya, pada saat Dada nampak sangat berhasil, ia mulai mati sendiri diganti oleh surealisme yang pada gilirannya menimbulkan skandal dan merasuk pada pengikutnya. Dada hanya hidup antara tahun 1916 dan 1924. Dalam kenyataannya sejarah Dada berlangsung lebih panjang. Eksistensinya dimungkinkan berkat adanya aliran-aliran kesusastraan yang mulai tumbuh sebelum pertengahan abad ke -19. ada aliran Seni-untuk- Seni dari Theophole Gautier, aliran naturalisme (Flaubert dan Concourt bersaudara). Ada kaum dekaden dan sebagainya.

Nampaknya, sejarah kesenian di Eropa penuh dengan gila-aliran.Dada adalah aliran yang ekstrem yang dicapai dalam pencarian yang panjang akan 'Seni Mutlak' dan 'Puisi Murni'. Kita dapat menambahkan di sini bahwa selain gila-aliran, sejarah memperlihatkan juga kegilaan terhadap ekstremisme. Dan teater absurd, seperti sudah disebut di atas adalah teater yang membawa pesimisme yang ekstrem.

Setelah dengan panjang lebar kita mengutip dan mengomentari drama absurd, rasanya belumlah kita sampai pada akar sebenarnya dari teater itu. Akarnya adalah absurditas itu sendiri. Kita perlu berbicara dalam hubungan ini mengenai pengertian (nation) tentang absurditas dan perasaan (feeling) tentangnya. Kemudian tentang sikap yang pada gilirannya, sikap itu menentukan perbuatan kita.

Sebelum kita membicarakan reaksi negatif dan positif, marilah kita menggali terus absurditas itu. Absurditas dialami melalui emosi dan intelektualita.

1. Sensasi absurd: Ini adalah sebuah perasaan (feeling) yang berasal dari pikiran dan perbuatan. Perasaan yang dalam selalu tak dapat diungkapkan. Ia adalah sebuah alam semesta yang bisa ceria bisa juga murung. Ada alam semesta (universe) cemburu, ambisi, serakah, pemurah. Semua ini adalah metafisik atau sikap jiwa, yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat.

2. Timbulnya: sensasi ini tidak terlihat. Seseorang dapat diserbu oleh feeling mengenai absurditas di pojok jalanan, dsb.

3. Isinya: Individu melihat dan merasakan secara pribadi akan kehidupan rutin dan mekanis. Kebosanan, kepayahan disadari betul. Ada segi-segi inhuman di dalam diri manusia. Pada mulanya kehidupan rutin itu anak tetapi pada suatu saat feeling mengenai absurditas itu muncul membawa kecemasan: beginilah aku, bertahun-tahun di negeri rutin dan mekanis!

4. Visi mengenai waktu. Waktu menunjukkan ajal. Karena itu merupakan musuh. Namun manusia adalah milik waktu. Pemberontakan terhadap waktu adalah absurd.

5. Alam. Kontak dengan alam menunjukkan bahwa alam itu lebat dan asing. Di jantung segala keindahan terletak suatu yang inhuman. Kelebatan dan keanehan alam adalah absurd.

6. Manusia lain. Manusia pun menyimpan secara rahasia segi-segi inhuman.

7. Visi mengenai ajal. Tidak ada kontak dengan ajal- karena kita belum pernah mengalaminya, namun semua orang akan menemui ajal serta perasaan mengenainya.Semua orang hidup seolah-olah tidak mengetahui akan adanya ajal.

Itulah sedikit gambaran mengenai absurditas.

Reaksi terhadap absurditas, seperti sudah dikatakan di atas, ada positif dan negatif. Reaksi positif berupa mempertahankan tiga tokoh dalam drama kehidupan, yakni mempertahankan kesadaran, mempertahankan dunia di depan kesadaran dan produk dari pertemuan kesadaran dan dunia yakni absurditas (tembok absurd) itu.

Drama absurd, nampaknya mencemplungkan diri ke dalam absurditas itu, mabuk di sana, tidak mau menyadari akan adanya dunia, menyangkal dunia dan bersitegang bahwa hanyalah sang subjek sajalah dengan segala kontradiksi dan kemustahilannya yang diafirmasikan. Tentulah hal yang demikian ini merupakan afirmasi diri yang negatif yang pada gilirannya merupakan negasi diri. Beckett adalah seorang Master of Solipsism. Dalam karya-karyanya ia melakukan bunuh diri secara metafisik. Beckett dan kawan-kawannya, memang telah menghayati sedalam-dalamnya kontradiksi dan kemustahilan itu -- absurditas itu -- tetapi reaksi mereka terhadap kenyataan kemanusiaan yang hakiki itu serupa (walaupun tak sama) dengan kaum dandy, kaum dada, kaum ideolog dan para mistikus serta penganut kebatinan segala.
***(Tim Khusus CSHoT/GP)

2 komentar:

Ghufroni An'ars mengatakan...

kenal ama mister abdoel duma harahap gak gan?

Unknown mengatakan...

Tau..km ..anak. ..Lonte. ..bajingan. ..modarkwe po akan dh tau