~dimuat di milis ngobrolin teater,6 agustus 2005~
Barangkali inilah penyelenggaraan Festival TEMPA yang paling mengundang keprihatinan. Padahal dari pihak panitia sudah cukup maksimal didalam upaya menggairahkan penyelenggaraan Festival ini dengan mengadakan Work shop bagi perwakilan SMU dan sederajat di DIJ. Dari catatan yang disampaikan dewan juri festival yang terdiri dari; Indra Tranggono, Landung Simatupang serta Agus Prasetya yang dibacakan oleh Landung pada malam penyerahan hadiah di gedung Sositet Taman Budaya Jogja, terindikasi adanya semacam anggapan yang miring terhadap keberadaan teater di sekolah menengah di Jogja. Ada sementara pendidik (baca guru sekolah maupun kepala sekolah) yang tidak memberi dukungan positif bagi keikutsertaan anak didiknya ke ajang festival seperti TEMPA ini. Bahkan yang terdengar cukup menyedihkan adalah kenyataan adanya anggapan dikalangan sementara guru sekolah itu, bahwa
aktivitas berteater yang dilakukan oleh para siswanya tidak dipandang sebagai memiliki nilai guna.
Ada apa dengan guru sekolah? Kenapa mereka bisa melihat kenyataan teater sebagai sesuatu yang dilihat semata dari kacamata negativ. Ada kehawatiran yang berlebihan dan kacau logikanya manakala para guru sekolah/kepala sekolah menilai kegiatan berteater sebagai penyebab dari agresivitas para siswanya. Mengapa mereka tidak mengarifinya dengan kenyataan bahwa melalui teater, siswa jadi terasah untuk berdisiplin, menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan kebersamaan, serta menumbuhkan semangat pengorbanan serta bertanggung jawab bagi diri dan orang lain.
Bukankah seperti kita maklumi bersama, bahwa teater adalah media bagi penempaan kepribadian yang konstruktif? Menjadi sangat konyol dan wagu kalau para pendidik itu hanya melihat dengan kacamata apriorinya sendiri yang terbelenggu oleh anggapan keliru menilai teater sebagai stimulan bagi tindakan destruktif para siswa disekolah.
Ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua untuk memberi pengertian kepada para guru disekolah. Setidaknya kita mencoba untuk meluruskan yang bengkok serta menjernihkan yang keruh. Setidaknya ini sebuah upaya, selebihnya terimakasih karena sikap Anda wahai para pendidik membuat mata kami makin terbuka bahwa memang ternyata masih cukup banyak yang harus kita perbaiki. Akhirul Kata, selamat belajar dan semoga kita bisa belajar dari kondisi ini untuk berbuat lebih baik lagi dilain kali.
Salam Hormat,
Catur Stanis yang tengah berduka.
Barangkali inilah penyelenggaraan Festival TEMPA yang paling mengundang keprihatinan. Padahal dari pihak panitia sudah cukup maksimal didalam upaya menggairahkan penyelenggaraan Festival ini dengan mengadakan Work shop bagi perwakilan SMU dan sederajat di DIJ. Dari catatan yang disampaikan dewan juri festival yang terdiri dari; Indra Tranggono, Landung Simatupang serta Agus Prasetya yang dibacakan oleh Landung pada malam penyerahan hadiah di gedung Sositet Taman Budaya Jogja, terindikasi adanya semacam anggapan yang miring terhadap keberadaan teater di sekolah menengah di Jogja. Ada sementara pendidik (baca guru sekolah maupun kepala sekolah) yang tidak memberi dukungan positif bagi keikutsertaan anak didiknya ke ajang festival seperti TEMPA ini. Bahkan yang terdengar cukup menyedihkan adalah kenyataan adanya anggapan dikalangan sementara guru sekolah itu, bahwa
aktivitas berteater yang dilakukan oleh para siswanya tidak dipandang sebagai memiliki nilai guna.
Ada apa dengan guru sekolah? Kenapa mereka bisa melihat kenyataan teater sebagai sesuatu yang dilihat semata dari kacamata negativ. Ada kehawatiran yang berlebihan dan kacau logikanya manakala para guru sekolah/kepala sekolah menilai kegiatan berteater sebagai penyebab dari agresivitas para siswanya. Mengapa mereka tidak mengarifinya dengan kenyataan bahwa melalui teater, siswa jadi terasah untuk berdisiplin, menjunjung tinggi nilai persaudaraan dan kebersamaan, serta menumbuhkan semangat pengorbanan serta bertanggung jawab bagi diri dan orang lain.
Bukankah seperti kita maklumi bersama, bahwa teater adalah media bagi penempaan kepribadian yang konstruktif? Menjadi sangat konyol dan wagu kalau para pendidik itu hanya melihat dengan kacamata apriorinya sendiri yang terbelenggu oleh anggapan keliru menilai teater sebagai stimulan bagi tindakan destruktif para siswa disekolah.
Ini adalah pekerjaan rumah bagi kita semua untuk memberi pengertian kepada para guru disekolah. Setidaknya kita mencoba untuk meluruskan yang bengkok serta menjernihkan yang keruh. Setidaknya ini sebuah upaya, selebihnya terimakasih karena sikap Anda wahai para pendidik membuat mata kami makin terbuka bahwa memang ternyata masih cukup banyak yang harus kita perbaiki. Akhirul Kata, selamat belajar dan semoga kita bisa belajar dari kondisi ini untuk berbuat lebih baik lagi dilain kali.
Salam Hormat,
Catur Stanis yang tengah berduka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar