Selasa, 19 Agustus 2008

Ambiguitas Teater Realisme di Indonesia: Teater Nasionalistis & Pseudo-Eropa

Oleh BENNY YOHANES (dimuat dimilis Ngobrolin Teater pada 18 september 2005)

LAHIRNYA realisme dalam sejarah teater Barat menandai optimisme abad ke-20. Optimisme yang memperkuat akar antroposentris dalam filsafat itu, diwujudkan dalam dunia teater dengan mendudukkan manusia-individu sebagai agen pengubah. Karya-karya Ibsen, Strinberg, dan
Chekov memperlihatkan individu dalam perangainya sebagai "pemberontak nilai-nilai" atau sebagai "iconoclast". Realisme menggunakan hipotesis dasar: bahwa masyarakat, atau kehidupan kolektif, adalah sarang kepalsuan, manipulasi, dan distorsi.

Terhadap kepalsuan, manipulasi, dan distorsi tersebut, teater harus mampu memperlihatkan detail dan emphasis-nya, tanpa perlu memperindah atau memperburuk dari keadaan yang sebenarnya. Realisme memercayai tesis bahwa progresi sejarah ditentukan oleh kekuatan internal individu, bukan oleh institusi eksternalnya. Itu sebabnya dalam teater realisme kehidupan masyarakat yang membusuk, selalu
menjadi alasan munculnya pahlawan-pahlawan individual. Tetapi, realisme tetap mengadopsi efek katarsis dari tragedi klasik, sehingga sosok pahlawan pemberontak itu, dalam naskah drama realisme, cenderung tampak sebagai pahlawan tragis.

Dengan mengedepankan sosok-sosok individu sebagai "manusia-pemberontak," yang optimistis sekaligus tragis, teater realisme barat awal abad ke-20, berusaha menyuguhkan teater sebagai lembaga kritik, dan wacana teaternya menjadi sarana kritisisme publik. Teater memberikan edukasi ideologis dan studi psikologis di atas panggung, sekaligus menjadi forum intelektualisasi bagi pertumbuhan komunitas intelektual yang lebih peduli pada problem-problem krusial
masyarakat, seperti problem dekadensi moral, hipokrisi, atau berbagai bentuk represi atas potensi-potensi kebebasan individu. Realisme melukiskan manusia sebagai round-character, sebagai pribadi yang memiliki kompleksitas. Dan setiap kali ada upaya dari masyarakat untuk mendistorsi atau merenggut kompleksitas individu, teater realisme memperlihatkan konflik itu sebagai pertentangan antara dunia internal individu yang kosmotik berhadapan dengan institusi eksternal yang khaotik.

Dalam konteks memperlihatkan konsep manusia sebagai pribadi yang kompleks atau sebagai entitas psikologis yang utuh, maka Stanislavsky telah menemukan jenis seni peran baru yang mengarah pada penemuan gestur natural, kehalusan emosi, dengan menghilangkan efek oratoris
pada gaya-bicara, sebagaimana menjadi kelaziman tipikal dari pakem teater romantik sebelumnya. Metode Stanislavsky, secara khusus memang dipersiapkan sebagai fondasi metodis para aktor, untuk menjelmakan kompleksitas dari tokoh-tokoh dalam naskah realisme-puitis Chekov, yang secara piawai berhasil menggabungkan kedalaman perasaan,
melankolia dan unsur comic relief secara memikat. Namun dampak aplikasi dari metode Stanislavsky kemudian meluas ke seluruh Eropa.

Eropa awal abad ke-20, memiliki urgensi untuk mempertanyakan kembali posisi individu di tengah masyarakat, atau sebaliknya, menggugat norma-norma doktiner masyarakat, yang telah membenamkan individualitas ke dalam hipokrisi massa. Kehidupan industrialisasi yang tengah menguat awal abad itu telah juga menyeret pada gejala fabrikasi atas manusia. Teater realisme, dengan kepercayaan pada individu sebagai agen-pengubah, sebagai pahlawan pemberontak, telah mengedepankan jenis teater diskursus, di mana tolok ukur kebenaran hendak dicari dari kesadaran individu yang bebas; individu yang tidak lagi merupakan perpanjangan dari kepentingan-kepentingan institusional atau kepentingan ideologis-politis tertentu, tapi sebagai manusia-merdeka yang berani mempertaruhkan nasib dan tragedinya, demi pemulihan martabat manusia sebagai pribadi. Seiring dengan itu, paham liberalisme dalam politik, psikologi Freudian dan eksistensialisme dalam filsafat telah memberi dukungan ekstensif dan intensif, mematangkan pencarian teater realisme untuk menemukan sosok- sosok hero yang lebih kompleks dan membumi dalam diri manusia.

**

TEATER realisme di Indonesia harus dibaca sebagai gelombang infiltrasi, adopsi, dan proses translasi, dari sumber awalnya, yakni teater realisme Eropa. Teater etnik pra-Indonesia tidak memiliki tradisi teater realis sebab seluruh tradisi teater etnik tumbuh dalam tradisi representasi, yakni tontonan sebagai bentuk stilasi tematik dan estetik. Realisme Eropa, yang dasar epistemologinya adalah modernisme, teradopsi dalam struktur baru kebudayaan Indonesia, karena konsep Indonesia itu sendiri lahir dari ranah modernisme Eropa. Para penulis naskah realisme generasi pertama di Indonesia, seperti Kirdjomuljo (Penggali Intan), Utuy T. Sontani (Awal dan Mira, Sayang Ada Orang Lain), Nasyah Djamin (Titik-titik Hitam), B. Sularto
(Domba-domba Revolusi), Motinggo Busye (Malam Jahanam) menyebut sejumlah nama, telah belajar mengadopsi dan melakukan translasi kultural, untuk merumuskan karakter realisme Indonesia.

Meskipun tokoh-tokoh "pemberontak" yang ditampilkan bergelut dalam latar konflik yang khas Indonesia, tesis dasar yang menyemangati naskah-naskah realisme awal Indonesia adalah tipikal individu-modernis Eropa, yakni: manusia yang meneguhkan sosok eksistensinya, dengan dasar moralitas dan keyakinan individual yang merdeka. Individu-individu yang muncul dalam naskah realisme Indonesia dari sejumlah pengarang di atas, menampilkan dorongan individualisme yang kuat, visi pribadi yang antihipokrisi, berani berjuang dengan risiko, mengedepankan persepsi harga-diri yang tinggi. Dengan kata lain, manusia Indonesia yang muncul dalam naskah realisme awal adalah jenis manusia optimistis, namun menjadi tragis sekaligus, karena dihadapkan pada dunia eksternal yang anti-individu.

Karakter "manusia idealis" yang ditampilkan adalah hero yang gagal, tapi karakter itu adalah tokoh yang bicara dengan bahasa Indonesia yang sungguh heroik. Gaya diksi yang dipilih para pengarangnya, selalu menampilkan konfrontasi pikiran yang diametral, antara komplotan yang hipokrit dan kompromis berhadapan dengan individu yang idealis dan eksplosif. Yang menjadi gejala menarik dalam naskah realisme awal di Indonesia (khususnya di Jawa) adalah teater diskursus itu, yang menjadi jiwa teater realisme, disuguhkan dalam bahasa Indonesia yang berkarakter, bahasa yang menggugat, dan menjadi ekspresi linguistik yang sama pentingnya dengan kandungan pikiran si tokoh. Jadi, dalam teater realisme awal Indonesia, penampilan bahasa Indonesia sebagai diksi-dramatik, tampak menjadi penanda yang vital bagi konsep realisme itu sendiri. Optimisme dalam teater realisme awal Indonesia adalah optimisme untuk berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dimengerti sebab tantangan eksternal yang dihadapi para pengarang periode tahun '50/'60-an itu adalah bahwa ruang bagi ideologisasi dan peneguhan moralitas Indonesia yang sedang dicari itu, dapat menjadi tajam dan terfokus, terutama lewat artikulasi berbahasa. Saat itu, dalam kurun kemerdekaan yang masih sangat muda, bahasa adalah salah satu investasi budaya yang paling berharga. Dengan meng­akselerasi bahasa Indonesia sebagai diksi-dramatik, panggung teater realisme awal Indonesia adalah panggung yang sangat nasionalistis. Dengan mengadopsi dan mentranslasi konsep realisme Eropa, teater realisme awal Indonesia justru tidak menjadi pseudo-Eropa, namun telah berusaha menemukan warna epistemologi dan psikologi Indonesia, terutama lewat heroisme berbahasa. Ini adalah makna dan sumbangan penting yang telah ditunjukkan oleh penulis teater realisme awal Indonesia.

Selepas tahun '60-an, perkembangan ekstensif realisme ditandai oleh upaya infiltrasi Asrul Sani dkk. lewat praksis ATNI-nya, dengan lebih mengintensifkan pertemuan metodologi teater realisme Eropa, terutama dengan diterapkannya metode Stanislavsky dalam praktik seni peran dan visualisasi pertunjukan. Fase ini ditandai pula dengan bergesernya kiblat pilihan naskah-naskah drama yang dipanggungkan. Periode ATNI dikenal dengan "pembaratan" teater realis Indonesia, ketika penerjemahan naskah-naskah realisme Eropa dan Amerika Burung Camar (Chekov), Sang Ayah (Strinberg), Yerma (Lorca), Mak Comblang (Gogol), Si Bachil (Moliere), Monserraat (E. Robles), menyebut sejumlah contoh, mendominasi panggung teater. Implikasinya, naskah realisme pribumi mengalami depopularisasi.

Ditinjau dari konteks akademisasi teater, generasi Asrul Sani telah berhasil menempatkan teater ke dalam relasi kehidupan komunitas intelektual di Indonesia. Populernya praksis teater realisme Stanislavskian telah memungkinkan terjadinya akses yang lebih akseleratif bagi tradisi teater modern Indonesia untuk dapat berinteraksi dengan progresi teater Eropa dan Amerika yang berkembang saat itu. Teater modern Indonesia setidaknya dapat berfungsi sebagai resonator dari jejak estetik teater Eropa.

Namun, jika ditinjau dari aspek nasionalisme teater, periode ATNI justru telah mematahkan pencarian dan peneguhan diksi-dramatik teater realisme Indonesia. Periode tersebut ditandai dengan surutnya invensi dan artikulasi estetika teater khas Indonesia sebab orientasi estetik
teater teracu dalam standar epistemik dan metonimik teater Barat. Periode ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) justru menyuguhkan paradoks sebab semboyan nasional yang menjadi ikon lembaga ATNI justru telah menyurutkan minat pada gaya" teater-nasionalistis" yang digali oleh generasi Utuy, Kirdjo dkk. Terhadap karya-karya generasi penulis awal realisme Indonesia itu telah terjadi proses dehistorisasi, entah karena alasan-alasan politis-ideologis atau
karena sikap deapresiasi estetik.***

Penulis adalah dosen teater di STSI Bandung
dan juga salah satu anggota juri Festamasio 3 di Jogjakarta.

1 komentar:

safa violence mengatakan...

mm....
mnurut kmm, knapa teater eropa bs maju, dan memiliki daya tarik lebih di hati masyarakat dibandingkan degan ketertarikan mereka pada film? Dan kenapa justru yang terjadi di Indonesia sebaliknya?