Senin, 18 Agustus 2008

TEATER :DILLEMA DOMESTIFIKASI&KONTEKSTUALISI



Oleh : Halim HD.
~tulisan ini di posting di milis ngobrolin teater,18 Agustus 2005~


"The insensitivity to context and historical meaning is droll".
(Charles Jencks, The Language of Post-Modern Architecture, hal. 91)

Betapa memukaunya ketika Rendra dengan Bengkel Teater-nya di
tahun 1970-an mengangkat Oedipus keatas panggung, yang membuat publik
menjadi termenung oleh sejumlah masalah kemanusiaan, hubungan antara
anak-bapak dan diantara itu sebuah kekuasaan yang ikut menggerus
posisi dan kondisi manusia. Keterpukauan itu juga lantaran bukan cuma
kapasitas Rendra yang mampu menyutradarai dan memainkan Oedipus karya
Sophocles yang membuat kita seperti terbuka kepada cakrawala, betapa
luasnya bentangan semesta dalam tata ruang panggung yang dibentuk
melalui pendekatan "minimalis" yang sederhana itu mengantarkan kita
kepada semesta kehidupan, dan disitu pula betapa berkecamuknya
problema disekitarnya akibat tingkah polah manusia yang telah lepas
dari komitmen dasarnya, kemanusiaan. Dari peristiwa itu pula kita

menangkap kesadaran tentang adanya rasa bersalah yang terus menerus
menghantui diri kita, yang dihantarkan melalui teater yang memiliki
visi historis, yang membawa pementasan itu menjadi bagian
proses "katarsis" diri kita: permenungan dan pelacakan ke dalam diri
yang telah dirasuki oleh berbagai polutan kehidupan.
Antara 2-3 tahun setelah pertunjukan, dalam suatu diskusi
tentang teater di Yogyakarta, seorang teman melontarkan pertanyaan
sederhana namun tak mudah benar untuk menjawabnya: bisakah publik
wilayah lain menerima dan memahami apa yang disajikan oleh Rendra
bersama Bengkel Teater-nya itu? Ada teman lain yang menjawab, bahwa
faktor bahasa, yakni bahasa Indonesia, dan hanya lingkungan bahasa
itulah yang hanya bisa memahaminya. Jika dengan bahasa Inggris, tentu
lain lagi, demikian pula bahasa lainnya. Namun ada teman lain yang
menambahkan, bahwa jika Rendra menggunakan bukan bahasa Indonesia
dengan gaya "Mataraman", gaya Jawa, mungkin tontonan itu sendiri
nggak sedahsyaat seperti yang kita saksikan. Dengan kata lain, apa
yang bisa kita simpulkan sementara ini adalah bahwa ada kaitan kuat
antara teater dengan ruang sosial bahasa, yang membuat dirinya
memukau dan sekaligus juga menunjukan adanya keterbatasan.
Kedua komentar itu ada benarnya. Bahasa menjadi sesuatu yang
bisa dianggap "menghambat". Tapi, persoalannya bukan hanya disitu.
Sebab, teater bukan hanya persoalan bahasa dalam pengertian teks dari
perspektif literer belaka. Ada sesuatu yang menciptakan "aura"
sehingga teater dapat ditangkap dan menggetarkan publik berdasarkan
pengalamannya masing-masing. Tentu keterbatasan bahasa itu membuat
teater kondisional yang memang menjadi watak dasar teater itu
sendiri. Artinya, bahwa teater tak pernah bisa berada pada posisi
yang sama dan permanen pada setiap ruang dan waktu. Dirinya selalu
berubah berdasarkan ruang dan waktu tempat di mana dia bermain, dan
di situ pulalah dirinya berada pada ruang sosial. Makanya, bagi
saya, tak ada teater nasional. Yang hadir adalah teater kondisional
dan situasional. Orang bisa ger-ger-an ketika menonton Lenong atau
Longser disebuah kampung di Tangerang atau Subang. Tapi, ketika
Lenong dibawa kepanggung yang lain, misalnya sebuah auditorium opera,
katakanlah misalnya begitu, rasanya Lenong atau Longser akan jadi
dingin, dan mungkin membeku. Bukan cuma bahasa, tapi soalnya kondisi
dan perspektif ruang yang sudah berbeda, dan itu akan membawa
konsekuensi logis kepada situasi-kondisi psikologis para pemain. Lagi
pula, kenapa harus Longser dan Lenong di bawa – seandainya memang ada
peristiwa itu – kedalam auditorium opera, dan kenapa pula tidak
dibiarkan hidup di dalam lingkungannya sendiri saja, bersama
keceriaan masyarakat yang sudah dikenalnya, yang kini terlalu
dijejali oleh berbagai acara bebal model teve itu!
Dan kembali kepada soal Rendra dengan Oedipus-nya, yang
menurut Bakdi Soemanto, seorang pengamat yang piawai, disitu Rendra
menemukan daya ungkapnya yang paling unik, dan dengan daya ungkap itu
pula apa yang disebut warna lokal dan kekhasan teater lokal
Yogyakarta, gaya "Mataraman" itu mampu menelusupi dan menghidupi
lakon klasik dari luar wilayah yang telah berumur ribuan tahun. Jadi
ada sesuatu yang disajikan berdasarkan konteks sosio-historis
berdasarkan kapasitas dan visi Rendra menafsirkan seluruh unsur dari
lingkungan hidupnya, yang dia hadirkan ke dalam bentangan persoalan
manusia Indonesia melalui teater, dan melalui teks literer yang telah
pula ditafsirkan berdasarkan konteks historis wilayah pemanggungan
dan keberadaan teater itu sendiri. Kesadaran seperti ini, bukan hanya
suatu kebutuhan teknis belaka. Tapi, lebih dari itu merupakan suatu
kebutuhan yang tak terelakan yang memang disadari benar oleh Rendra
dalam kaitannya dengan lakon itu serta watak teater yang dijadikan
pilihan bagi dirinya dan komunitasnya.
Dan soal ini juga saya rasakan ketika saya sempat menonton karya
William Shakespeare, "Macbeth" yang diberi tambahan tajuk
menjadi "Black Macbeth" dengan sutradara Stephen Raine dari Royal
Shakespeare Company, London, pada tahun 1991-92 di Ann Arbor,
Michigan, New York dan St. Louis yang semuanya aktor-aktris dari
Afrika yang mukim di London, dan hanya seorang pemain yang bukan
berkulit hitam. "Black Macbeth" yang saya saksikan menyajikan suatu
suasana yang fantastik, yang sangat dekat dengan dunia masyarakat
Afrika, dengan situasi dan kondisi politik serta intrik kekuasaan,
dan blekmejik (black magic) yang masih hidup dalam cara berpikir
mereka, disamping itu juga ada tafsir yang pas dari sang sutradara
yang memasukan unsur "luar" (baca: kolonialisme kulit putih!) yang
sudah mendarah daging sebagai biang kerok dari perseteruan dan
kecamuk dendam di antara berbagai etnis dan sub-etnis di belantara
Afrika. "Black Macbeth" dibumikan sesuai dengan konteks sosio-
historis masakini, dan disodorkan sebagai problematika manusia
sekarang yang masih tak lepas dari berbagai bentuk kolonialisme baru
yang lebih canggih. Tapi yang paling utama adalah soal keretakan dan
degradasi hubungan manusia, dimana konflik dijadikan jalan bagi
ambisi manusia untuk menduduki kekuasaan dan menguasai manusia
lainnya. Dan gereja di New York tempat "Black Macbeth" manggung yang
anggun dengan ruang yang temaram dan panggung yang sangat sederhana,
sebuah bulatan dan sebuah tungku berisi arang membara, dan dengan
kostum etnis Afrika, membawa kita kepada makna pemahaman yang paling
dekat tentang manusia Afrika beserta kondisinya, yang sesungguhnya
juga jika kita telusuri dan lacak lebih dalam keakar-akarnya,
disitulah diri kita: manusia yang begitu ringkih berhadapan dengan
kekuasaan yang tak manusiawi.
Degradasi posisi dan kondisi manusia akibat berbagai sistem yang tak
manusiawi disajikan oleh The Black Tent Theater ketika mereka
mengusung lakon "Woiyzeck" karya Georg Buchner, dengan sutradara
Satoh Makoto pada tahun 2001, dalam rangkaian acara Indonesia Art
Summit, Jakarta. Lakon ini ingin menegaskan tentang perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi dan di lain pihak ada kekuasaan yang
memanipulasi yang mengakibatkan munculnya proses pengrusakan terhadap
kondisi manusia. "Woiyzeck" merupakan suatu lakon dan tentang,
meminjam ungkapan, Erich Fromm, sebagai proses "The Anatomy of Human
Destructiveness". Pementasan itu disampaikan dalam bahasa Jepang dan
saya tidak memahami bahasa itu, seperti juga ketika saya
menyaksikan "Kang Gan" tentang Cheng Ho, yang naskahnya ditulis Kuo
Pao-kun (dramawan Singapura) dan dengan sutaradara Satoh Makoto,
atau "Koboreru Kajitsu" (Buah-Buah Berguguran?) karya dua pengarang
muda Jepang, Toshiro Suzue dan Tadashi Kariba yang memenangkan
Theatre Cocoon Drama Award, dalam dua versi penyutradaraan oleh Satoh
Makoto dan Yukio Ninagawa, yang keduanya sangat memukau, yang membawa
kedalam berbagai persoalan kaum muda yang kehilangan orientasi.
Sementara Yukio Ninagawa menyodorkan lakon itu kepada kita dengan
tata ruang panggung yang dijejali berbagai masalah dan benda-benda
urban, isu gender, gay-lesbianisme dan konsumerisme yang meledak di
lingkungan masyarakat Jepang, dan di sisi lainnya terdapat dis-
orientasi kehidupan, dan tak terkekecuali masalah "konsumsi".
Sedangkan Satoh Makoto menyajikan tambahan impian yang subtil, dan
disitu pula kita saksikan malaikat yang membumi yang bertemu dan
menemani kaum muda yang gelisah dan tak tahu arah akibat
industrialisasi, akar lingkungan yang goyah dan kekosongan
spiritualitas. Jika Yukio Ninagawa memenuhi panggung dengan berbagai
properti dari puluhan peralatan rumah tangga dan kantor seperti
kulkas, tempat timur, komputer, meubelair yang tumpang tindih,
beserta sarana hiburan elektronis yang saling menumpuk, yang akhirnya
semua kebutuhan itu membuat sulit bagi diri kita untuk bergerak dalam
ruangan. Produk industri dan konsumerisme tidak memberikan tempat
kepada diri kita. Yang ada cuma kehadiran berbagai benda, dan kita
juga tak tahu lagi apa yang mau kita kerjakan dengan benda-benda itu.
Jadi soalnya bukan cuma "I shop therefore I am", atau "aku belanja
maka aku ada". Belanjaan itu sendiri sudah jadi yang paling penting
dibandingkan diri kita sendiri. Sementara itu pada garapan Satoh
Makoto menciptakan ruangan sangat "minimalis": selingkungan panggung
dengan dinding seng gelombang yang bersih, dan yang paling menarik,
semua pintu dan jendela dari bawah, dan dari sanalah semburan cahaya
datang yang membawa diri kita ke dalam suatu imajinasi tentang "dunia
atas", dan disitulah haru biru kaum muda terbentang dan bertemu
dengan malaikat. Dunia dan kehidupan yang diciptakan oleh Satoh
Makoto mengajak kita kedalam suatu konsep kehidupan, bahwa kita harus
kritis dan prihatin kepada impian yang ada. Semua belanjaan, semua
konsumsi yang melimpah ruah dihadapan kita, sementara di Afrika,
katanya dalam obrolan diruang tamu rumahnya yang sederhana dan asri,
begitu banyak orang kekurangan bahan makanan. Kaum muda khususnya dan
masyarakat Jepang umumnya dihadapkan kepada masalah dan gugatan serta
pertanyaan sejauh manakah mereka memiliki kapasitas kemanusiaan,
seperti juga kapasitas diri mereka untuk menerima berbagai masalah
gender, gay-lesbian dan lainnya. Dan yang jelas, keduanya menyajikan
suatu rentang proses historis kondisi manusia yang paling aktual
beserta masalah yang melingkupinya, yang bisa kita rasakan melalui
sajian teater dengan konteks sosio-historis yang digarap secara
mendalam.
Persoalannya, saya tidak mengerti bahasa Jepang; semua pementasan itu
menggunakan bahasa ibu mereka. Tapi, "anehnya" rasa-rasanya saya bisa
menangkap semuanya dengan perasaan dan simpati saya, seperti ketika
saya juga ikut menyaksikan Black Macbeth (dengan keterbatasan bahasa
Inggris saya), atau ketika juga saya mendengarkan Parawana Towainne
(Rebana Kaum Perempuan) dalam bahasa Mandar (saya sama sekali tidak
mengerti bahasa Mandar, juga Bugis dan Makassar, walaupun selama
empat tahun saya mondar-mandir di wilayah Sulawesi Selatan) yang
disajikan oleh Mak Camanna dari desa Limboro, Kecamatan Tinambung,
Kabupaten Polmas, yang membawakan puja-puji Nabi Mohammad SAW. Tentu
ada sedikit banyak hambatan, seperti mungkin rincian dari alur
cerita. Tapi, seluruh suasana, kedalaman makna dan atmosfer
pementasan saya rasakan getarannya seperti saya menyaksikan teater
yang akrab dengan diri saya, layaknya saya menonton Komunitas Payung
Hitam (KPH) dengan lakon Kaspar-nya pada tahun 1995-96 (di Solo dan
Surabaya), berdasarkan naskah Peter Hanke garapan Rachman sabur, atau
teater SAE dengan teks Afrizal Malna dalam garapan Boedi S. Otong.
Memang ada persoalan bahasa dalam dan sebagai teks literer yang kita
hadapi. Namun, kenapa pementasan yang berbeda bahasa itu bisa pula
saya tangkap. Adakah saya sekedar menyampaikan simpati-empati kepada
kerja kesenian yang dilakukan dengan intensitas yang tinggi, seperti
kita menyaksikan Ibu Dewi dan Ibu Savitri almarhum dalam topeng
tradisi Cirebon, atau Mak Coppong dalam tradisi Pakarena Kampili-
Gowa, yang juga saya rasakan pada musik Daeng Mile yang menggetarkan
seluruh jaringan syaraf dalam diri saya. Mungkin saya dikenalkan
lebih dulu oleh sebuah pengantar singkat seperti dalam ringkasan
cerita, atau dalam obrolan pribadi secara santai sebelum pementasan.
Tapi, argumentasi ini belumlah bisa menjawab soal yang saya sodorkan:
faktor bahasa bisa dilampaui dalam suatu pementasan yang berbeda
bahasa-ibu dari seorang-dua publik dengan sajian yang dihadapinya.
Saya merasa, kemungkinan besar ada faktor lain yang bisa mendukung
sebuah pementasan teater, sebagaimana pernah juga dihadapi oleh Putu
Wijaya ketika membawakan sebuah reportoarnya di Seattle, Amerika, dan
mendapatkan applaus dari publik yang menyaksikannya. Hal yang sama,
saya pikir, juga akan dihadapi dan dirasakan oleh publik di manapun
juga ketika menyaksikan suatu pementasan teater – yang dalam bahasa
yang berbeda – merasakan suatu getaran atmosfer yang diciptakan
oleh "inner energy" yang dibawakan oleh sajian itu. Namun dari hal
ini, saya tidak ingin mengambil kesimpulan bahwa "teater adalah
universal". Bagi saya, dirinya tetap merupakan suatu wilayah yang
memiliki kaitan kuat antara makna dan bentuk yang disampaikannya
dengan konteks sosio-historis, sebagaimana juga setiap publik
menafsirkan sajian itu berdasarkan latar belakang dan proses
pengalaman dirinya secara individual maupun sosial masing-masing.
Berangkat dari hal itu, saya ingin mengembangkan ke dalam suatu
tinjauan khusus tentang "Kaspar"-nya KPH yang pernah saya saksikan
untuk kesekian kalinya (1995 di Solo, 1996 di Surabaya dan 2001 di
Bandung dan Jakarta).
Jika kita bicara tentang Kaspar-nya KPH tahun 1995-96 yang
disutradarai Rachman Sabur dan kita membandingkan dengan Kaspar yang
disajikannya pada Indonesia Art Summit (IAS) 2001 di Jakarta dan
sebelumnya kembali dipentaskan di Bandung dan di beberapa kota
(Cirebon, Banjar, Tasikmalaya), saya menyaksikan Kaspar 2001 terasa
sekali memiliki kecenderungan kontekstualisasi yang dipaksakan, atau
yang lebih tepat didomestifikasikan melalui aktualisasi dan
reproduksi masalah yang ada disekitar kita, dari soal bom, posisi dan
peran militer sampai dengan banyolan tentang sepakbola. Saya tahu
bahwa betapa kita telah dan selalu berhadapan dengan poisisi dan
peran militer dalam kehidupan kita. Tapi, bagi saya, "Kaspar" tahun
2001 cenderung membeberkan dan bahkan terasa bersifat koran, kalau
tidak ingin dikatakan cerewet. Mungkin maksud Rachman Sabur agar kita
selalu ingat kepada tingkah polah politik dan kehendak militer yang
sewenang-wenang. Namun, bukankah masalah tersebut – gampangannya –
telah begitu banyak dikupas di koran. Dan kenapa tidak
menyajikan "Kaspar" yang senantiasa membuat kita bertanya-tanya
tentang kondisi manusia yang disergap oleh bahasa, informasi, dan
perlawanannya terhadap hal itu. Sisi misteri dan tragedi manusia yang
pada "Kaspar"1995-96 saya rasakan benar dengan perasaan keterpukauan,
yang saya anggap bahwa KPH mampu menyajikan sebuah pementasan yang
bukan hanya bisa ditonton oleh publik di Indonesia, tapi juga
kemungkinan besar oleh publik diluar wilayah bahasa Indonesia.
Dalam "Kaspar" tahun 1995-96 ada begitu banyak peluang publik untuk
memasuki wilayah imajiner. Sementara pada "Kaspar" 2001, sorongan
informasi dari kehidupan sehari-hari (baca: media massa) yang sudah
kita ketahui, dan terus diulang-ulang. Bagi saya, menonton teater
bukan sekedar saya ingin menyaksikan pertunjukan. Lebih dari itu,
saya ingin mendekatkan dan ingin mengikatkan diri kepada kondisi dan
posisi manusia dengan berbagai kemungkinan (misteri) yang ada
kaitannya dengan lingkungannya. Itulah juga kenapa saya tertarik,
seperti saya nyatakan kepada Rachman sabur dan teman-teman KPH
tentang "Merah Bolong Putih Doblong" (MBPD) yang banyak menggunakan
bahasa tubuh yang dahsyaat, seperti juga ketika "Kaspar" 1995-96 yang
telah membongkar berbagai konvensi dramaturgi tentang gerak (acting)
yang selama ini kita cenderung mengeja dengan taqlid dan terus
mengulang konsep "Stanilavkian", "jalan realis" yang bersumber dari
stilisasi keseharian yang harus dicanggihkan secara tepat dan dengan
presisi yang tak boleh bergeming dari satu titikpun gerak hidup
sebagaimana manusia berada dilingkungan sosialnya. Dan "Kaspar" 1995-
96 serta MBPD jauh berbeda dan sangat bertolak belakang dengan
konvensi yang berlaku selama ini. Dengan penafsiran kepada kondisi
dan pengolahan tubuh sebagai media (baca: bahasa) yang mampu
berbicara dengan lebih leluasa, dan di situ pulalah "Kaspar" dan MBPD
menciptakan dan berbagai kemungkinan nuansa dan aspek ruang-waktu
melalui pengolahan dan pembentukan gestur dan ekspresi tubuh sebagai
suatu "teater fisikal antroposentris", yang didasarkan posisi tubuh
manusia sebagai unsur atau elemen yang paling penting didalam proses
penjadian peristiwa teater, yang mengantarkan berbagai gejala dan
peristiwa kehidupan dengan berbagai aspeknya itu ke dalam dan melalui
pertunjukan teater. Apabila kita menariknya secara spesifik dalam
perspektif sosial-politik dan historis, dengan meminjam dan
menafsirkan konsep Shinjin Shimizu, sutradara teater Gekidan
Kaitaisha (Theatre of Deconstruction), yang dipengaruhi pemikiran
kaum post-strukturalis, menyatakan bahwa pemain sebagai "political
bodies". Dari sinilah kita bisa menarik suatu konklusi sementara
bahwa pemain/performer dengan tubuhnya itu sebagai pembentukan tubuh
sebagai institusi yang memiliki bobot atau kandungan sosial politis
yang merupakan hasil dari pembentukan konstruksi kebudayaan. Dengan
kata lain, bahwa kehadiran tubuh di samping sebagai data biologis-
fisiologis atau unsur-unsur alamiah lainnya, juga terjadi suatu
proses pembentukan yang justeru lebih menghadirkan keberadaan tubuh
di dalam peristiwa teater sebagai dokumentasi realitas (documentary
reality) kehidupan individual dan sosial. (Adam Broinowski, "The Body
in Avant-Garde Theater in Japan", The Japan Foundation Newsletter
XXIX).
Kembali kepada "Kaspar" 1995-96 yang membuat
saya "penasaran", dan selalu menggoda saya untuk bertanya dan kembali
mempertanyakan diri sendiri dan lingkungan sosial dalam hubungannya
dengan informasi, bahasa, ideologi, proses indoktrinasi, dan proses
pemberontakan manusia terhadap kondisi yang mencengkeramnya itu.
Dalam "Kaspar", sajian itu membuat ruang imajinasi publik merasakan
berbagai kemungkinan yang terbuka yang datang dari berbagai arah yang
semula disusupi dan dibongkar oleh tokoh yang semula muncul
bagaikan "boneka bodoh", dan lalu berproses ke dalam suatu bentuk dan
penjadiannya sebagai manusia yang makin matang dan makin menyadari
tentang hidupnya yang ditelikung oleh berbagai informasi serta
indoktrinasi. Singkat kata, "Kaspar" yang dipentaskan pada pada tahun
1995-96 merupakan suatu gambaran dan eksplorasi persoalan manusia
yang dihadapkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan melalui media
komunikasi yang menjejalinya, yang di satu pihak membuat manusia
makin cerdas, tapi di sisi lainnya membuat manusia tidak lagi tahu
arah karena ketidaktahuan dari mana sesungguhnya sumber informasi itu
datangnya. Atau seperti yang juga bisa kita sodorkan pertanyaan atau
gugatan dalam kasus riil kehidupan sehari-hari: siapa sesungguhnya
yang berada di balik seluruh mekanisme dalam siaran teve? Adakah itu
perancang berita, editor, jurnalis, kekuatan kapital dan politik yang
saling berkaitan demi suatu kepentingan? Atau ada "hidden hand",
tangan siluman yang menentukan arah kehidupan dalam bentuk suatu
sistem yang tak lagi dapat dikendalikan oleh kita semuanya? Di antara
permasalahan yang kompleks dan dengan sajian penataan artistik yang
digarap oleh perupa Tisna Sanjaya, pementasan "Kaspar" 1995-96 oleh
KPH makin terasa suatu bentuk keterbukaan tafsir bagi siapa saja
untuk memasuki wilayah itu dengan imajinasi masing-masing publik,
yang dibawa ke dalam suatu atmosfer dan bentuk yang memiliki batas
ambang yang tipis antara kenyataan dan fiksi. Apalagi didukung oleh
permainan aktor KPH:Tony Broer, Yana Gartiwa, Tatang Pahat, Dede
Dablo, Deden Yusuf dan Gun Murjianto dengan totalitas permainnya
menjadikan KPH dengan "Kaspar" 1995-96 itu merupakan salah satu
kontribusi penting di dalam perkembangan kehidupan teater di
Indonesia.
Keterbukaan atau tepatnya sistem terbuka dari suatu
pementasan yang memungkinkan adanya tafsir dari publik
terhadap "Kaspar" 1995-96. Dan ciri dari keterbukaan itu terletak
pada kemungkinan teks panggung dari segi artistik maupun teks literer
yang tidak "memojokan" atau menjejalkan dan menganggap publik
sebagai "tong sampah", atau menjadikan teater sebagai "anjing yang
menggonggong", meminjam ungkapan esayis-penyair Afrizal Malna untuk
komentarnya tentang reportoar "Sel" (2002) garapan Joko Bibit Santosa
dari grup teater Ruang (Solo) di Taman Budaya Surakarta, yang menurut
saya sangat membosankan: ekshibisionis dan sekaligus narsistik.
Jika saya tertarik kepada bentuk teater yang memiliki sistem terbuka,
yang tidak mencekoki dan tidak menganggap publik sebagai klompencapir
model jaman Suharto-Harmoko, karena bagi saya betapa pentingnya
publik sebagai bagian dari pertunjukan itu sendiri, yang dengan ruang
tafsir serta partisipasi-imajinatifnya publik memasuki masalah
berdasarkan pengalaman dan proses. Dan di situ pulalah "tugas" dan
makna teater yang memang situasional dan kondisional, yang artinya
juga bahwa ada suatu keterbatasan yang tidak dapat dipungkiri dan
yang juga tidak dapat sepenuhnya bisa dan dapat diselesaikan oleh
dirinya sendiri. Sebuah pementasan sesungguhnya merupakan –
sebaiknya – suatu bentuk kesadaran dan proses kepada adanya ruang-
ruang yang terbuka yang masih "belum/tidak tergarap"; perlu disadari
benar bahwa ruang-ruang itu, ruang-imajinasi dimiliki oleh publik
yang bisa mengisinya berdasarkan tafsir dan kapasitas serta
pengalamannya masing-masing.
Karena itu pulalah kritik saya sejak dua dekade yang lampau kepada
mereka yang berada dan menjalani bentuk dan jenis "teater
terlibat", "teater penyadaran" atau "teater yang berpihak" yang
banyak dikerjakan secara kolaboratif antara pekerja teater dengan
para aktivist LSM/NGO's, yang mempunyai asumsi bahwa melalui jalan
teater (juga jenis/bentuk kesenian lainnya: musik, sastera dan
senirupa) akan bisa diciptakan perubahan kondisi sosial yang
berkaitan dengan posisi masyarakat kelas bawah yang dianggap ter/di-
tindas oleh sistem negara dan aparaturnya. Dengan kata lain, teater
sebagai medium, sarana untuk suatu perubahan, khususnya untuk
menentang rejim yang berkuasa, yang melakukan penindasan dan
eksploitasi dalam berbagai bentuk di dalam kehidupan sosial. Saya
tidak menolak adanya dan peran "teater terlibat", "teater kaum
tertindas", "teater penyadaran" maupun "teater yang berpihak" di
dalam masyarakat kita, apalagi di dalam kondisi di mana berbagai
ketimpangan terjadi, dan di lain pihak berbagai saluran institusi
demokratisasi mengalami hambatan, atau bahkan menjadi bagian dari
rejim yang berkuasa. Hanya saja, yang jadi persoalan dan yang selalu
saya permasalahkan adalah adanya suatu proses kerja yang simplistik
yang terjadi di dalam kolaborasi itu, yang saya saksikan,
sepengetahuan saya berkenalan dan terlibat di dalam kegiatan itu
diberbagai daerah di Jawa pada tahun 1980-an. Pada sisi lainnya, dari
perspektif psikologis, karena dirinya merasa mendapatkan "tugas
penyadaran" untuk orang-orang "kelas bawah" atau orang-orang di
pedesaan, secara sadar atau tidak para aktivist NGO's dan pekerja
teater itu, lalu muncul sikap "kesombongan terselubung" (atau bahkan
juga secara kasat mata) yanag menganggap dirinya paling tahu tentang
kehidupan, dan sementara itu mastarakat kelas bawah atau orang-orang
desa itu dianggap tidak mengerti apa-apa! Hanya segelintir kecil dari
aktivist maupun pekerja teater itu yang mempunyai kerendahan hati
untuk, misalnya, kapasitas mendengarkan dan mau melihat sisi lain
dari kehidupan orang-orang yang akan disadarinya itu. Tapi,
kebanyakan dari mereka, semuanya datang dan memasuki wilayah
masyarakat "kelas bawah" atau orang-orang di pedesaan itu dengan
semangat yang menggebu-gebu dan tentunya pula dengan jargon-
slogan "pembebasan" dan "penyadaran". Ironi lainnya dari kerja
kolaboratif itu adalah betapa kurangnya kesadaran kalangan aktivist
itu tentang, misalnya "data" atau "fakta" tentang "obyeknya" itu
("kelas bawah" atau orang-orang desa) yang akan "diindoktinir".
Seakan-akan dengan jargon-slogan itu perubahan posisi dan kondisi
sosial akan tercipta. Sialnya lagi, betapa banyak aktivist NGO's itu
memang sekedar bermodal semangat dan sejumlah kutipan "teori" yang
kurang matang, yang ujung-ujungnya banyak di antara mereka tidak
berkutik ketika menghadapi persoalan di lapangan. Dan ditambah satu
soal lagi yang pasti, satu faktor yang penting: bahwa kesabaran dan
kerendahan hati hampir-hampir tidak dimiliki oleh para aktivist
maupun pekerja teater itu. Semuanya menganggap kumpulan orang-orang
("massa", menurut mereka) itu perlu "disadarkan" (baca: dicekoki!).
Menurut kalangan aktivist, bahwa "struktur kesadaran palsu" yang
dibentuk oleh rejim dan sistem sosial yang menindas yang terdapat di
dalam cara berpikir dan mentalitas "massa" itu perlu dibongkar.
Keinginan dan niat baik itu, sekali lagi, boleh dikatakan hanya
dibekali oleh slogan-jargon, yang pada akhirnya berujung ke dalam
proses pencekokan, indoktrinasi, yang tentu tanpa suatu pendekatan
yang manusiawi, dan tidak memandang dan tidak pula mempertimbangkan
bahwa setiap orang memiliki ruang imajinasi. Di antara para aktivist
yang memiliki semangat yang menggebu-gebu dengan slogan-jargon itu,
ada baiknya mendengarkan apa yang diungkapkan oleh Simon HT. yang
menyatakan "bukan teater untuk rakyat, tapi teater dari rakyat", yang
nampak seakan-akan hanya sekedar permainan kata-kata, tapi
sesungguhnya menjungkirbalikan cara pandang, perspektif dan sikap di
dalam proses kerja kebudayaan itu. Namun, apa yang dikatakan oleh
pekerja teater seperti Simon HT hanya bagaikan gema tanpa sahutan.
Sementara itu, dikalangan aktivist sendiri, terlalu berambisi untuk
bisa segera dan secepat-cepatnya bagaimana suatu perubahan terjadi
melalui "penyadaran" (baca: pencekokan), yang sesungguhnya tidak
lebih dan tidak kurang mirip "sosio drama" seperti model klompencapir
di teve yang berisi rekayasa indoktrinasi ideologi pembangunan dari
sistem kekuasaan.
Contoh dari bentuk teater itu bisa saya gambarkan pada pementasan di
desa Gadung, pinggang Gunung Lawu, 40 Km ke arah Timur Solo, pada
sekitar pertengahan tahun 1980-an, suatu dekade ketika organisasi
semacam NGO's seperti jamur di musim penghujan, dan pada waktu yang
hampir bersamaan berkembang pula – dalam berbagai versi dan kefasihan
lidah masing-masing – ideologi "kiri" yang dihembuskan oleh Arief
Budiman sebagai bentuk ideologi perlawanan terhadap sistem dan
ideologi rejim Orba. Dan teater (saya lupa judulnya) yang disajikan
oleh beberapa aktivist dan pekerja teater itu mengambil bentuk teater
tradisi yang agak longgar, ketoprak yang sudah diadaptasi. Sedangkan
jalan ceritanya tentang perlawanan terhadap suatu kondisi yang
dikendalikan dan dikuasai oleh sosok tua penguasa yang menindas.
Dalam kondisi tertindas itu, terdapat seorang anak muda yang merasa
tidak puas dan prihatin, lalu mengadakan perlawanan. Tapi dia kalah,
lalu melarikan diri, mencari ilmu. Dalam pencarian ilmu
(atau "ngelmu"?), dia bertapa di suatu tempat yang sepi dan
terpencil. Dari proses bertapa itulah sang pemuda didatangi oleh
sosok tua lainnya, seorang sakti yang memberikan ilmu kepadanya dan
air mukjijat yang harus diminum oleh sang pemuda. Setelah itu, sang
pemuda kembali ke ibukota, pusat kekuasaan, dan kembali mengadakan
perlawanan. Kali ini dia menang, mengalahkan sang penguasa. Rakyat
menyambutnya dengan gegap gempita.
Jika ada orang yang menganggap bahwa pertunjukan itu dipenuhi oleh
suasana melodrama, itulah adanya sebagaimana kebanyakan biografi para
pejabat di Indonesia, dari Suharto sampai dengan para Gubernur,
Walikota dan Bupati serta para jenderal, yang menjadikan biografi
sebagai media untuk melegitimasikan dirinya di tengah-tengah publik
Indonesia yang seiring dengan banjirnya informasi, dan disitu pulalah
kita bisa membaca nada dan suasana harubiru seseorang yang pergi dari
desanya, merantau untuk menuntut ilmu, dan lalu memasuki perjuangan
melawan kolonialisme Belanda. Tak ada selingkuh, tak ada skandal, tak
ada suatu bentuk dan jenis penyelewengan apapun juga. Sungguh, lurus
dan bersih, hampir-hampir mendekati suci murni, melebihi para nabi
atau rasul! Seperti juga sang pemuda yang tanpa cacat sedikitpun
dalam kehidupannya. Pola garapan seperti ini, mungkin juga lantaran
ditutupi oleh "romantisme perjuangan" yang tidak mampu lagi melihat
lika-liku kehidupan dan bahwa manusia itu fana yang di dalam
kehidupan sosialnya memiliki juga "cacatnya" yang di dalam proses
historis maupun biografis nampaknya dipulas "demi cita-cita
perjuangan". Dari hal itu kita bisa memandang ke arah yang lebih
khusus di dalam proses teater yang digarap oleh kalangan aktivist
NGO's, yang boleh dikatakan hampir-hampir tanpa menyadari suatu
proses sejarah sosial yang ter/di-bentuk di dalam kehidupan
masyarakat, misalnya tentang kekuasaan yang korup dan adanya tirani
yang sewenang-wenang, yang kesemuanya bisa dikalahkan oleh seorang
pemuda yang setelah bertapa mengalahkan kekuasaan dengan cara seorang
diri lewat kesaktiannya; dan adakah hal itu masih ada pada di jaman
kiwari, ketika semua hal bisa dikupas dan dilihat secara kasat mata
dan sangat riil melalui berbagai penemuan tehnologi dan ilmu
pengetahuan? Marilah kita ajukan pertanyaan:di mana adanya
proses "penyadaran" kepada warga masyarakat jika suatu proses
perubahan sosial-politik hanya dikerjakan oleh seorang diri, di mana
posisi dan organisasi serta "ideologi" yang bisa merajut semua
harapan dan cita-cita ke dalam perjuangan bersama untuk menentang
rejim atau tiran yang korup itu? Suatu keinginan yang menggebu-gebu
serta cara pandang dan sikap simplistik tanpa menyadari suatu proses
yang terbuka kepada berbagai masalah yang ada serta tidak adanya
identifikasi probelamatika secara rinci, dan lalu memaksakan
gagasannya, "kemasan ideologis" kepada warga masyarakat serta
lingkungannya merupakan sesuatu yang menggelikan, serta tak lebih
dan tak kurang sejalan dan sebangun dengan cara rejim yang berkuasa
yang selalu mencekoki warga berbagai ideologi pembangunan melalui
berbagai media massa, khususnya teve. Di situ pulalah kita saksikan
suatu proses "pemaksaan gagasan" atau "pencekokan" tanpa sedikitpun
mau memberikan pertimbangan kepada ruang-imajiner yang dimiliki oleh
setiap orang. Pada sisi lainnya, khasanah tradisi, semisal ketoprak,
nampaknya hanya sebagai sampiran, pelengkap penderita seperti juga
teater di dalam proses itu. Dari hal inilah yang nampaknya
kompleksitas makin berkembang dan masih perlu kita pahami lebih jauh,
yakni tentang hubungan yang intensif antara kesenian dan perubahan
sosial-politik, dan bagaimana kaitan keduanya itu di dalam
masyarakat, serta bagaimana pula suatu proses kerja kebudayaan yang
benar-benar bisa mendudukan warga masyarakat atau siapa saja sebagai
pemilik ruang-imajiner. Perlu juga kita tambahkan sebagai suatu
tekanan yang mesti diperhatikan oleh siapa saja, khususnya kalangan
aktivist NGO's bahwa proses kebudayaan bukan sekedar membalik tangan.
Di dalam proses itu terdapat berbagai masalah yang satu dengan
lainnya saling berkaitan dan saling mempengaruhi dari faktor sosial-
politik-ekonomi sampai dengan cara pandang setiap anggota masyarakat
di dalam memandang kesenian di antara makin derasnya pengaruh media
massa, khususnya media elektronis, teve, yang pasti
secara "ideologis" maupun politik-ekonomis cenderung membuat siapa
saja menjadi konsumtif. Di dalam kondisi seperti itu, melakukan suatu
proses kerja kebudayaan yang simplistik, dan tanpa visi yang
manusiawi tentang posisi dan fungsi warga atau publik sebagai pemilik
ruang imajiner, maka hanya menciptakan dan menambah bentuk lain dari
konsumerisme di lingkungan masyarakat: di samping konsumerisme
ekonomis, juga muncul konsumerisme politis (ideologis), yang
sesungguhnya juga dikerjakan oleh rejim yang berkuasa.
Adakah "persaingan" dalam menciptakan "konsumen politis-ideologis"
antara para aktivist NGO's dengan rejim yang berkuasa sebagai suatu
bentuk dari "counter culture"? Menciptakan budaya tandingan, di
antara himpitan dan gencetan ideologi dan sistem negara yang memiliki
kaitan dengan sistem politik-ekonomi pada tataran global? Sekiranya
kita bersetuju, sepakat dengan gagasan tentang "counter culture",
yang masih selalu menjadi pertanyaan saya dan gugatan kita bersama
adalah, di mana posisi dan fungsi warga sebagai manusia, sebagai
pemilik ruang-imajiner di dalam proses penciptaan "counter culture"
itu? Dan jika proses pembentukan "counter culture" atau di dalam
proses kebudayaan kita tidak memberikan peluang kepada ruang-imajiner
untuk melakukan penafsiran atau dialog interaktif berdasarkan
kapasitas pengalaman dirinya, dan bahkan cenderung untuk dicekoki,
disitulah sesungguhnya korban kemanusiaan yang paling awal, yang
menjadikan manusia dalam versi filsuf kebudayaan Brazilia, Paolo
Freire, hanya sebagai "celengan" (Banking Concept Education)
dan "tong sampah" belaka. Dan hal itu merupakan suatu penghinaan
terhadap kondisi manusia yang dijejali oleh pikiran-pikiran yang
bukan miliknya!
Dan sebagai bandingan saya ingin mengajukan suatu garapan yang
dikerjakan oleh teman-teman teater Kita Makassar yang dikoordinir
oleh Asia Ramli Prapanca, dan sejumlah anggota dari berbagai grup
teater lainnya, di tambah dengan penari dan musisi, pada tahun 2000
digelar di depan Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang), yang
sebenarnya juga merupakan suatu "produksi pesanan" dari kalangan
NGO's, berkaitan dengan situasi sosial politik di Sulawesi. Singkat
kata, sebuah NGO's yang prihatin dengan situasi konflik sosial di
berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Sulawesi, dan ingin
mencari modus rekonsiliasi sosial melalui kesenian, khususnya teater.
Woksyop hanya dilakukan dikalangan kesenian dan beberapa orang
aktivist NGO's. Yang paling menarik, setelah acara "sharing", diskusi
dan "perumusan" masalah selama 2 hari, lalu disimpulkan tentang tidak
adanya suatu "judul", "plot" atau apapun juga yang berkaitan dengan
masalah sosial dan politik. Masing-masing peserta diminta untuk
melakukan persepsi yang didasarkan atas pengalamannya masing-masing,
dan setelah itu peserta yang berjumlah 50-60-an orang yang terdiri
dari pekerja teater, tari, musik dan senirupa, bergerak berdasarkan
dirinya sendiri. Luas "panggung" yang sebenarnya halaman pintu
gerbang Benteng Ujung Pandang sekitar 4-5 ratus meter itu dipenuhi
oleh berbagai pembentukan ruang oleh masing-masing peserta yang
mengambil posisi dan melakukan interaksi. Terciptalah
suasana "kacaubalau" yang membuat para pejalan, pengendara kendaraan
bermotor dan siapa saja berhenti dan ikut menyaksikan
peristiwa "kekacaubalauan" itu. Acara berjalan sekitar 60-70 menit
yang memuncak pada suasana "trance" dan hampir-hampir mendekati
situasi "chaos", dan lalu makin lama makin menyurut, memasuki keadaan
tenang. Selesai. Setelah itu masing-masing peserta seperti melepaskan
seluruh beban dan meraih suasana "katarsis", masing-masing peserta
saling bersalaman dan berpelukan, ketawa, senyum, melepaskan rasa
dahaga emosi masing-masing.
Perbandingan lainnya yang bisa saya sampaikan di sini adalah bentuk
pertunjukan grup teater Randa Ntovea (Palu, Sulawesi Tengah),
kesemuanya perempuan muda dengan latar belakang mahasiswa dari
beberapa fakultas di Universitas Tadulako, dan ditambah seorang siswa
SLTA. Sekitar dua bulan mereka mengamati para pekerja perempuan
pemecah batu di sekitar wilayah Donggala, dengan target pertunjukan
pada bulan April 2001 di taman kota dalam rangkaian Palu-Indonesia
Dance Forum (PID-Forum). "Panggung" yang mereka gunakan satu bagian
dari taman yang sesungguhnya sudah porak poranda dan dicoba untuk
dikembalikan sebagai ruang publik oleh kalangan pekerja kesenian di
Palu. Bermain di bawah pepohonan di antara hamparan 3 truk batu-batu
kali berukuran 2-3 kali kelapa. Sebelum acara dimulai, sekitar 2
minggu sebelumnya mereka juga berproses di taman kota itu dengan cara
mengangkut bebatuan dari pinggir jalan yang diturah dari sebuah truk.
Tak boleh ada yang menolong. Semuanya dilakukan sendiri. Dan sebelum
itu, mereka juga melakukan pekerjaan itu di tempat perempuan pemecah
batu di luar kota. Bentuk pertunjukannya, sesungguhnya sudah
di "stilisasi", dengan tajuk "Perempuan Pemecah Batu". Tak ada teks
oral, tak ada "plot" yang disampaikan. Semuanya berupa gerak yang
bersumber dari pola gerak kaum perempuan pemecah batu yang mereka
amati dan pelajari. Yang menarik, yang saya rasakan dan membuat saya
terpesona adalah enerji mereka, yang sama sekali tidak kompromi
dengan bentuk kekerasan yang disodorkan yang mereka lakukan dengan
cara memukul batu-batu yang berhamparan. Penonton yang berjubel
semuanya terhenyak, masuk dalam suasana keheningan oleh situasi yang
bersumber dari gerak yang penuh dengan semangat dan enerji yang
meluap-luap yang dihantarkan oleh suatu proses pertunjukan selama
sekitar 40 menit.
Tentu ada perbedaan – sedikit/banyak – dari tiga contoh yang saya
sampaikan di atas sebagai bahan perbandingan, di antara terdapatnya
pula beberapa titik persamaan yang berupa motivasi dan gagsan tentang
teater sebagai medium dan solusi berbagai persoalan sosial di sekitar
kita. Titik perbedaannya, para aktivist NGO's yang menggarap di desa
Gadung ikut melibatkan sebagian warga desa; sementara teman-teman di
Makassar dan Palu sepenuhnya dari kalangan kesenian, walaupun ada
saja satu dua orang yang ikut menonton – untuk acara di Makassar –
memasuki peristiwa itu. Namun, satu hal yang masih ingin saya
sodorkan sebagai catatan di sini adalah tentang adanya bentuk
dan "sistem terbuka" dari pertunjukan yang disampaikan oleh teman-
teman di Makassar dan Palu, yang membiarkan setiap orang atau siapa
saja untuk memberikan tafsiran terhadap apa yang mereka sampaikan
dihadapan publik, termasuk yang paling penting kepada mereka yang
secara langsung terlibat. Sisi lainnya, tentu juga apa yang oleh
teman-teman teater di Makassar dan Palu sangat berbeda dengan yang
dikerjakan para aktivist NGO's di desa Gadung yang garapannya
bersifat melodrama, yang terasa sekali keliru menafsirkan "fakta dan
proses" sejarah yang masih dilihat sebagai "dunia hero", dunia kaum
elite, yang nota bene bertentangan dengan gagasan awal dan missi
mereka sendiri! Dengan kata lain, terjadi proses dan pendekatan
ahistoris! Dan masih tersisa satu pertanyaan yang perlu kita sodorkan
kepada aktivist NGO's: bukankah para aktivist dan pekerja teater itu
dibekali perangkat metode investigasi dan "grounded research", dan
bagaimana pula dengan "partisipan riset"? Kenapa pula mereka tidak
menyampaikan sudut pandang atau perspektif dari dalam? Apakah
semuanya itu cuma sekedar jadi "intellectual exercise"?
Membicarakan KPH dan memperbandingkannya dengan beberapa grup, bagi
saya, merupakan suatu keharusan agar kita memiliki perspektif teater
yang lebih luas, paling tidak untuk saya pribadi. Dan yang terpenting
dari perbandingan singkat itu, saya kembali ingin menegaskan bahwa
betapa pentingnya kita menyadari adanya dan menghormati ruang-
imajiner yang dimiliki oleh siapapun juga, termasuk publik teater
yang juga merupakan bagian yang tak terlepaskan dari keberadaan dan
kehidupan teater itu sendiri di dalam ruang sosial-politik dan
kebudayaan manapun juga. Sebab, dengan meminjam apa yang diungkapkan
Theodore W. Hatlen dalam bukunya yang berjudul "Orientation to the
Theater" yang ditulisnya 30 tahun yang lampau, menyatakan bahwa "the
theater exist for the sake of the audience". Bisa saja ada orang yang
menafsirkan secara manipulatif, bahwa dengan dasar pikiran Hatlen itu
lalu masuklah sistem dan produksi teater ke dalam "selera pasar",
yang membawa dillema kalangan teater. Sebab, "selera pasar" nampaknya
juga bisa dianggap dan ditafsirkan sebagai legitimasi dan target
proses yang membawa kearah "domestifikasi" dan
sekaligus "kontekstualisasi" (yang mana kedua istilah atau konsep
itu bisa juga dianggap sebagai dasar pikiran untuk
melegitimasikan "selera pasar") posisi teater di tengah-tengah
masyarakatnya, yang selama ini teater (dan juga banyak kesenian
moderen) dituding telah "terasing" dari lingkungannya. Nampaknya
begitu banyak kesalahkaprahan pemahaman tentang usaha perluasan
jaringan publik, untuk mendapatkan penonton yang berjejal, dengan
menjadikan publik sebagai "tong sampah" dan teater sebagai komoditas
politik ekonomi. Dari hal ini kita dapat menyaksikan suatu kondisi di
mana teater selalu berada pada posisi subordinatif karena tarik
menarik di antara politik-ekonomis dengan politik-ideologis, yang
nampaknya semacam "takdir" bagi dirinya ditengah-tengah masyarakat
yang terus berubah yang tekanannya kepada ekonomi dan politik dan
atas nama moderenisasi dan pembangunan.
Di antara gegap gempita pembangunan itulah bermunculan berbagai grup
teater dikalangan kaum muda, khususnya mahasiswa, yang dijalaninya
sebagai suatu proses untuk memahami dirinya dan lingkungannya, dengan
kesadaran sejarah-sosial-politik yang tinggi yang boleh dikatakan tak
pernah reda dari gemuruh setiap perubahan kondisi di lingkungannya,
yang diakibatkan oleh berbagai ketimpangan sosial-politik dan
ekonomi. Pembangunan dan moderenisasi merupakan "guru yang senantiasa
digugat" bagi kaum muda di dalam memahami kondisi kebudayaan dan
masyarakatnya secara kritis dan dengan bekal "ideologi perlawanan"
(apapun jenis dan namanyanya!) yang juga dengan gegap gempita
disemburkan pada setiap ruang diskusi, seminar, pertemuan atau di
warung-warung di pinggir jalan. Di antara itu, di situ pula teater
tumbuh dan berkembang diberbagai daerah dan kampus, sebagai medium
ekspresi sosial, sarana bagi kaum muda untuk menyatakan diri ketika
dan di dalam mereka memandang kondisi di lingkungannya yang mereka
anggap sangat memprihatinkan. Grup-grup itupun tumbuh berkembang
dengan kapasitas masing-masing yang merupakan hasil dari proses
belajar sendiri atau sesama rekan mereka, dengan cara melihat
pementasan rekannya atau woksyop informal yang dilakukan oleh di
lingkungan grupnya. Dari proses itu, kembali kita bisa melihat
misalnya ,munculnya grup teater Gidag-Gidig, Solo, yang berdiri sejak
tahun 1977-78, yang dimotori oleh beberapa siswa dan remaja kampung
dan sampai kini bertahan. Inilah sebuah grup yang selama rentang
tahun 1980-an sampai sekarang yang memiliki jaringan kerja yang
paling luas di Solo, dari tingkat SLTA sampai dengan berbagai
fakultas di kampus-kampus. Dari jaringan itulah pula grup ini
melakukan rekrutmen anggota, yang pementasannya bukan hanya di tempat-
tempat resmi untuk kesenian, tapi melebar ke wilayah perkotaan
lainnya: sekolah, kampung-kampung, atau bahkan jika ada suatu
keluarga yang memiliki halaman dan bersedia untuk menerima
pementasannya, mereka pun sanggup untuk tampil di hadapan publik
terbatas itu. Missi yang dipegang adalah – "teater untuk tetangga"
(TUT) – yang dikelilingkan sejak tahun 1999 sampai sekarang, di
berbagai kampung dan sekolah-sekolah. Tapi, yang paling diutamakan
pementasan di pendapa Kemasan, tempat mereka sejak tahun 1980-an.
Pola garapan yang disajikan cukup "sederhana", berangkat dari konsep
penyutradaraan yang mengajak para pemain untuk bermain lebih wajar.
Tentu, "kesederhanaan" dan "kewajaran" ini bisa kita perdebatkan.
Tapi, marilah saya sampaikan suatu contoh untuk memberikan gambaran
pementasan teater Gidag-Gidig yang juga memiliki kedekatan
kepada "pendekatan sosial" dalam kaitannya dengan usaha mereka untuk
mengembangkan "kesadaran sosial" bagi para pemain dan publiknya.
Pementasan teater Gidag-Gidig hampir rata-rata berangkat dari lakon
yang ditafsirkan berdasarkan konteks lingkungannya, seperti tafsir
mereka kepada beberapa lakon yang diangkat dari cerita lokal, legenda
dan sejarah lokal, seperti "Loro Mendut", "Dewi Pari", Pagebluk
Sala", dan satu lagi diadaptasi dari cerita Cina, "Sam Pek Eng Tay"
yang juga populer di lingkungan masyarakat Jawa. Pola panggung yang
sederhana yang bisa bermain di mana saja, dan alur cerita yang juga
sederhana yang dihantarkan melalui bahasa campuran Jawa-Indonesia
yang saling silang, yang merupakan suatu bentuk dari – meminjam kata-
kata Hanindawan, sutradara teater Gidag-Gidig – "kegagapan kultural":
orang Jawa yang tak lagi mampu mengungkapkan secara sepenuhnya apa
yang ada di dalam dirinya melalui bahasa ibunya, bahasa Jawa, yang
disampaikan melalui "Toprak Pendapan" (apakah ini juga "plesetan"
dari/antara jenis makanan, "toprak" dengan "ketoprak" teater tradisi,
ungkapan "main-main"?), yang dikembangkan sejak belasan tahun yang
lampau yang sampai kini bermain dari satu "panggung" ke "panggung"
lainnya. Tapi, teater Gidag-Gidig bukan cuma menjalani tafsir
terhadap tradisi di lingkungannya saja, mereka juga melakonkan
pementasan karya mereka sendiri, seperti dua reportoar mereka yang
ditulis dan disutradarai oleh Hanindawan, yang merupakan dua karya
yang saya anggap paling mengesankan: "Pedati Dalam Kubangan"
dan "Wabah" pada pertengahan tahun 1990-an, yang sarat dengan
problema dan perspektif sosial, namun tidak memposisikan publik
sebagai "tong sampah". Hal yang sama juga kita dapati pada setiap
pementasan teater Gapit (Solo) melalui beberapa reportoarnya
("Bruk", "Rol", "Leng", "Tuk", "Reh" dan "Luh". Yang terakhir naskah
yang belum selesai) yang mendasarkan dirinya pada reportoar bahasa
Jawa Ngoko, yang sangat dikenali dan dipahami oleh kebanyakan orang
di lingkungannya. Dua grup teater dari Solo ini
memiliki "keberpihakan" dan "keterlibatan" yang tidak dilampiri oleh
embel-embel label politis-ideologis apapun. Bagi mereka, menurut
tafsiran saya, dengan meminjam ungkapan almarhum Bambang "Kentut"
Widoyo Sp. (penulis dan sutradara teater Gapit), "suara kalangan
bawah" yang memang kalah. Dan kekalahan itu makin ditandaskan melalui
jalan "Realisme yang paling realis" (saya pakai istilah ini) yang
tanpa kompromi menghadapkan setiap orang kepada realitas sosial
kehidupan kalangan bawah yang tergusur, tertindas, dan lenyap dari
peta sejarah. Dan teater Gapit tidak pula berusaha secara "romantisme
heroik" menunjukan keperkasaan perlawanan kalangan bawah dengan salah
satu tokohnya misalnya. "Perlawanan" yang mereka hadirkan berupa
gerutuan atau ungkapan-ungkapan sinisme dan humor sosial dalam yang
sesungguhnya. Tak ada tokoh, atau lebih tepatnya tak ada hero! Yang
ada hanyalah orang-orang biasa dengan jalan kehidupannya masingh-
masing yang satu dengan lainnya sama saling menyampaikan berbagai
sengkarut masalah sebagai kesaksian atas jaman yang tidak berpihak
kepada mereka.
Anti-hero dan yang hadir hanya orang-orang biasa yang saling bergumam
yang mungkin hanya untuk dirinya sendiri atau sesamanya secara
setara, namun di situ pula ada perlawanan serta kesaksian jaman
dilakukan oleh teater Sanggar Merah Putih pada reportoar "Ketika Kita
Kaku" yang disutradarai oleh Arman Dewarti yang memiliki perspektif
kesetaraan gender, yang dipanggungkan di Makassar (1999) dan Solo
(2000) yang secara mendalam mengajukan gugatan terhadap keyakinan
yang selama ini menyatakan bahwa terciptanya perempuan dari tulang
rusuk laki-laki. Maka kata "tak" yang dinyatakan oleh dua orang
perempuan bukan dan tidak sekedar penolakan dari perspektif sosial-
politis belaka pada posisi kaumnya di tengah-tengah masyarakat yang
dikuasai budaya patriarki. Namun lebih dari itu merupakan gugatan
terhadap mitos dan bahkan perspektif religi yang selama ini diyakini
oleh siapa saja. Pada reportoar lainnya yang dipentaskan di Palu
(2001) di antara rangkaian acara PID-Forum (Palu Indonesia Dance
Forum), di tengah-tengah lapangan basket di taman kota Palu yang
diubah jadi panggung oleh teater Sanggar Merah Putih, "Kausal Tanah
Batu" mengangkat tema sejarah lokal Bugis yang seluruh teks
literernya disampaikan oleh salah seorang pemain yang mendendangkan,
massure, dengan nada, irama dan suasana meditatif yang menggambarkan
suatu peristiwa beberapa abad yang lampau, yang juga masih berkaitan
dengan kesewenang-wenangan kekuasaan dari luar wilayah kepada kaum
perempuan. Sejarah lokal dan teater, dan disitu pula lalu, biasanya,
kita menyaksikan segerombolan hero-hero dengan predikat yang saling
berjejalan ditabalkan pada dirinya, dan tiada atau hampir-hampir
tidak ada orang-orang biasa. Namun berbeda dengan kebiasaan cara
pandang para pendahulunya yang terobsesi dengan heroisme lokal, Arman
Dewarti bersama teater Sanggar Merah Putih hanya "sekedar"
menghadirkan suasana dan orang-orang tanpa nama dan tanpa predikat
apapun juga, terkecuali sejumlah masalah yang membebani mereka, yang
ditafsirkan dan digugat kembali, yang dihadirkannya melalui keliatan
tubuh dan ekspresi serta semburan enerji dari awal hingga akhir
pementasan itu. Tiadanya tokoh, tiadanya hero dan yang hadir adalah
sekumpulan orang dengan berbagai benda-benda yang disandangnya yang
dijadikan simbol dari situasi dan kondisi konflik sosial dan tanpa
solusi apapun juga, yang membawa seluruh suasana dan peristiwa teater
itu nampak sebagai suatu "performance art" dihadirkan oleh Teater
Kita Makassar di antara rerimbunan pepohonan taman kota Palu pada
April 2001 (juga di Makassar pada bulan Juni), dengan tajuk "Aku
Pinjam Baju Baru" yang hanya menyampaikan berbagai "statement" yang
logikanya ditarik dari asumsi awal pernyataannya sendiri, seperti
beberapa petikan "statementnya": "........jika kamu mencuri, maka
kamu mencuri milik sendiri, jika kamu membunuh, maka kamu membunuh
diri sendiri, ..." yang merupakan kesaksian kepada kondisi yang
dihadapi oleh siapa saja, yang seperti berita pada koran yang
disampaikannya namun dengan batas ambang antara serius dan humor
begitu kabur. Batas ambang inilah yang justeru membuat peristiwa
teater itu bisa menjadi sangat menarik di antara berbagai "asesoris"
benda-benda yang ditabalkan dengan pendekatan kesenirupaan yang
digarap oleh perupa Is Hakim yang juga sebagai penyampai berita, yang
mengubah kehadiran sosok manusia sebagai "wakil kehadiran benda-benda
kebudayaan" di dalam konstruksi sosial-budaya. Bukankah benda dalam
wujud kaos T-shirt dengan berbagai pesan politik-ekonomis dan politik-
ideologis sudah menjadi sesuatu yang tidak terlepaskan, menempel pada
tubuh kita di dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya kalangan
kaum muda dan remaja? Dan benda-benda itu pula dalam wujud dedaunan
kelapa (janur) dan jenis dedaunan lainnya yang memenuhi tubuh "shaman-
dancer", dukun "beliatn bawow" maupun "beliatn sentiaw" di dalam
masyarakat Dayak di Kutai Barat, yang dengan tarian, mantra dan benda-
benda itu serta iringan gemerincing gelang pada kaki (beliatn bawow)
dan tangan (beliatn sentiaw) mereka berhubungan dengan institusi yang
tertinggi menurut kepercayaan mereka, dalam proses ritual penyembuhan
dan menjaga keseimbangan jagat mikro dan jagat makro yang berkaitan
dengan kesehatan, kehidupan sosial dan aspek-aspek lingkungan
hidupnya yang saling berkaitan dan interaktif.Kilas balik dan
perbandingan yang saya sampaikan di sini, bagi saya, sebagai usaha
untuk lebih memahami posisi KPH di antara grup-grup lainnya, dan di
antara perkembangan kehidupan kesenian moderen di tempat kita masing-
masing. Sebab, tanpa itu, mustahil kita bisa lebih jauh membaca
posisi KPH.
Kembali kepada bahasan saya tentang grup teater dari Bandung,
KPH dengan beberapa karyanya, khususnya "Kaspar" yang saya anggap
menjadi 2 versi (1995/96 dan 2001). Versi tafsir tahun 1995/96-lah
yang saya senangi, ketimbang versi tahun 2001, karena kedalaman dan
memberikan peluang kepada ruang-imajiner publik. Dan masih ada satu
pementasan lainnya yang menurut saya sangat menjanjikan untuk masa
yang akan datang sebagai suatu bentuk teater, yakni MBPD (Merah
Bolong Putih Doblong).Di sini saya ingin menyatakan bahwa "MBPD"
(1997?) telah ikut mengisi pemahaman saya kepada kecenderungan teater
pada periode tahun 1990-an. Walaupun tentu saja, saya menganggap,
bahwa "MBPD" itu masih membutuhkan proses pematangan lebih lanjut
yang berkaitan dengan visi yang lebih mendalam. Sebab, salah satu
godaan kalangan orang teater yang terlalu sadar kepada masalah-
masalah sosial punya kecenderungan untuk menjadi komentator, dan
terperangkap ke dalam pengulangan ungkapan atau kata-kata dan kalimat
yang disampaikan oleh media massa. Hal ini nampak teater sekedar
menjadi alat reproduksi dari kondisi sosial dan kebudayaan yang
dihadapinya. Padahal, sementara itu kita berharap bahwa teater
memiliki fungsi untuk mempertimbangkan, atau bahkan
melakukan "counter" secara terbuka dan mendalam terhadap gejala-
gejala sosial-politik dan kebudayaan yang bersifat penyeragaman.
Tapi, sekali lagi, di situ pulalah dillema terhadap apa yang
namanya "counter" yang banyak dilakukan oleh grup teater senantiasa
memasuki suatu bentuk ungkapan yang tak lebih mereproduksi dari cara-
cara "pokrol bambu" atau "vote getter" partai politik pada waktu
kampanye, atau bahkan seperti rejim yang berkuasa, di mana umpatan,
kekerasan bahasa dan "The Bla-Bla Show" alias "HARi-hari Omong
KOsong" dijadikan sebagai bahan untuk memancing minat publik yang
dikiranya bebal dan mudah dijejali oleh sumpah serapah. Lihatlah
misalnya grup teater Kloset (Solo), dan sejumlah grup "teater kampus"
yang telah dan memasuki proses mekanisme reproduksi kekerasan bahasa
rejim ke dalam setiap pementasannya. Bahkan "humor"-pun telah
memasuki kesalahkaprahan, tidak lagi mampu dan bisa membuat kita
merenungi dan mentertawakan diri sendiri; "humor" telah menjadi
sesuatu yang banal, yang hanya digunakan untuk melihat ke luar diri
kita, dan memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalam pikiran dan
perasaan, dan publik dijadikan – sekali lagi – "tong sampah"!
Dalam "MBPD" usaha untuk menghadirkan tubuh dengan berbagai aspek
yang dimilikinya sebenarnya merupakan usaha untuk menjawab dillema
yang di hadapi oleh kalangan orang teater, walaupun juga masih terasa
berbagai pesan yang ingin disampaikan dalam sodoran "multimedia"
melalui sajian slide tentang korban kemanusiaan akibat penindasan
rejim penguasa yang terjadi di mana-mana. Padahal, bagi saya, tanpa
slide pun kehadiran KPH dengan reportoar "MBPD" yang menghadirkan
tubuh dan bebatuan di atas panggung sudah bicara kepada kita tentang
kekerasan hidup, dan bahwa kekerasan itu bukan hanya dilakukan oleh
rejim saja, tapi juga oleh banyak orang yang telah memasuki cara-cara
mesin reproduksi rejim yang ada.
Ada baiknya juga mendengarkan apa yang dikatakan oleh seorang teman
yang pernah menonton "MBPD", dan dia menganggap bahwa "MBPD" sebagai
kecenderungan "machoisme" (memamerkan tubuh-kejantanan). Saya menolak
pendapat itu. Justeru bagi saya "MBPD" menyajikan "dekonstruksi"
tubuh laki-laki yang selalu identik dengan kejantanan menjadi sesuatu
yang rapuh, dan ringkih dan pada sisi lainnya dengan topeng yang
ekspresif, dan ekspresi wajahnya memberikan kesan "tanda tanya" atau
bertanya-tanya, pada sisi lainnya ada kesan "bolot" dan "mimik lucu"
yang didukung oleh permainan yang baik, yang membawa kita kepada
batas ambang situasi yang sangat beragam dan terbuka dari seluruh
pementasan itu. Namun, masih ada yang mengganjal. Bagi saya, simbol
acungan tangan pada sosok yang telah dimakamkan pada menjelang bagian
akhir reportoar "MBPD" yang masih menggunakan idiom lama dari bentuk
dan simbol "counter" (baca: perlawanan). Hal itu, rasa-rasanya bisa
kita anggap sebagai "heroisme". Atau itu tanda pernyataan yang ingin
disampaikan oleh KPH bahwa "kematian" tidak akan menghentikan bentuk
dan isi "perlawanan" dari siapa saja yang memiliki komitmen terhadap
nilai-nilai kemanusiaan; dan juga sebaliknya bahwa kekuasaan represif
bisa saja bermunculan dibalik pergantian kekuasaan, seperti yang
dihadirkan oleh KPH melalui karyanya "Katakitakati" (1998): Suharto
diturunkan oleh gelombang demontrasi mahasiswa dan konflik internal
di lingkungan kekuasaan pada bulan Mei 1998, tapi Suharto tetap hidup
beserta sistem yang telah dibangunnya: sosok Suharto yang digambarkan
dalam bentuk kotak-kotak karton seperti "puzzle" yang telah
diruntuhkan, tapi pada akhirnya tetap memunculkan Suharto yang masih
terpampang. "Teka-teki" yang dihadirkan oleh KPH
melalui "Katakitamati" yang menggambarkan "kejatuhan"
atau "keruntuhan" Suharto sesungguhnya berusaha menyajikan batas
ambang tafsir dan memberikan suatu ruang kepada kita dan sekaligus
tanda tanya besar sebagai tanda-tanda jaman yang ingin dinyatakan
bahwa jatuhnya seseorang dari kekuasaan tidaklah berarti bahwa suatu
sistem akan berganti. Kini kita menyaksikan dan merasakan suatu
sistem politik yang amburadul yang bukan hanya diakibatkan oleh rejim
Orde Baru saja, tapi juga oleh cara-cara kita di dalam mengelola
sistem kenegaraan, yang tak lebih dan tak kurang mirip seperti rejim
Suharto, dan dengan tingkat korupsi serta permainan "money poltic"
yang makin meluas; dan bermunculanlah "Suharto-Suharto" dalam
berbagai jenis dan ukuran.
Apa yang disajikan KPH secara "non-verbal" seperti juga saya rasakan
pada reportoar "Kaspar" dan "MBPD", yang secara teknis dan visi
berusaha membongkar konsep yang telah ada, dan menyajikan berbagai
kemungkinan teks ruang sebagai bentuk interdependensi,
kesalingterhubungan antara tubuh dengan benda-benda: menyatakan
seluruh kehadiran diri tanpa kenyinyiran teks verbal, sebagaimana
pernah dicanangkan oleh Rachman Sabur pada tahun 1994, bahwa KPH
berusaha untuk menyatakan diri melalui eksplorasi gerak dan bebunyian
sebagai ekspresi teater, yang salah satunya dikembangkan dalam
bentuk "Teater Musik Kaleng" (1996) yang masih ada kaitannya
dengan "Kaspar" 1995/96. Jika kita tarik lebih ke belakang, KPH pada
tahun 1991-92 dengan tajuk "Metateater" yang dihadirkan di Bandung
dan di Jakarta merupakan salah satu proses yang menjadi titik tolak
dari perkembangan tahun-tahun berikutnya. Dan dalam proses ini pula
KPH mengalami banyak godaan yang nampaknya bermula dari perspektif
dan prinsip yang dintyatakannya sendiri, seperti yang bisa kitaa
baca: "The themes are mostly concerned with human rights, injustice,
violence, otoritarianism, the army's heavy handed activities, the
sufferings of common people, the political chaos of Indonesia".
(Pamflet KPH untuk Indonesia Arts Summit 2001). Betapa begitu banyak
beban yang disandang oleh KHP untuk menghadapi berbagai masalah yang
ada di lingkungannya, keprihatinannya kepada situasi dan kondisi yang
amburadul dari satu rejim ke rejim lainnya. Tapi, barangkali ada
baiknya bagi KPH, betapapun memanggul beban yang besar dan berat itu,
memikirkan secara mendalam, bahwa semua persoalan yang dijadikan tema
juga dialami oleh siapa saja yang memiliki perasaan dan pikiran akal
sehat. Yang menjadi persoalan kita semuanya adalah sejauh manakah
perspektif dan visi yang diemban oleh KPH itu tidak menjadikan
dirinya sekedar penggonggong. Sebab, dari kesenian apapun jenis dan
bentuknya, khususnya teater, kita juga berharap perspektif dan visi
yang lain yang bukan dari, misalnya seperti media massa, atau vote
getter partai politik.; menolak seluruh reproduksi idiom yang telah
ada. Dengan kata lain, singkat kata, kita berharap adanya kedalaman
yang lain yang muncul dari proses eksplorasi dan pelacakan yang
kontinyu dan mendalam, yang bisa memiliki dan menghasilkan daya
bongkar yang terhadap persoalan-persoalan kehidupan. Jika saya
nyatakan di sini dan berharap kepada KPH tentang "daya bongkar", yang
saya maksudkan bukanlah suatu pengertian dan tujuan yang
bersifat "pragmatis", yang seperti dikerjakan oleh aktivist NGO's
yang telah salah kaprah di dalam memandang persoalan kebudayaan dan
posisi publik sebagai makhluk yang memiliki ruang-imajiner. Daya
bongkar yang saya maksudkan adalah suatu kapasitas yang
bersifat "menelusup" ke dalam relung-relung paling dalam dari
keberadaan siapa saja dan menyodorkan perspektif dan versi dengan
cara yang lain tentang makna kehidupan beserta berbagai seginya.
Atau, dengan kata lain, teater semestinya memiliki
kapasitas "subversif", seperti proses kehidupan kebudayaan yang
bersifat "counter" terhadap sistem maupun mekanisme yang telah
ter/di-lembagakan. Di antara proses rejimentasi di dalam berbagai
aspek kehidupan oleh kekuasaan yang cenderung korup dan hanya
memandang dan menjadikan kebudayaan (juga kesenian) sebagai sesuatu
yang bersifat resmi menurut versi negara dan aparaturnya, maka kita
perlu melakukan kerja kebudayaan yang bersifat subversif. (Gagasan
ini saya pinjam dari tulisan Ashadi Siregar pada tahun 1973 di
koran "Sinar Harapan"; dan dari pemikiran itulah, salah satunya, juga
Rendra dengan "kantong-kantong kebudayaan"-nya pada awal tahun 1970-
an yang memberikan inspirasi kepada saya dan teman-teman di
Yogyakarta dan beberapa kota lainnya di dalam kerja kebudayaan yang
tidak melalui institusi resmi; dan saya lebih mengandalkan kepada
kontak-kontak pribadi atau individual dalam bentuk forum-forum kecil
yang informal sebagai suatu bentuk jaringan kerja, networking).
Teater, dalam kaitannya dengan tema kerja "subeversif" itu, bukan
mengarah semata-mata kepada – dalam pengertian umum – suatu tingkah
laku politik praktis; "subversif" di sini lebih daripada itu, yakni
berhubungan dengan suatu proses pembongkaran dan membentuk suatu
kerangka atau sistem nilai lainnya, betapapun kecil riak
gelombangnya. Dalam kaitannya dengan hal itu, maka betapa pentingnya
posisi warga, posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi
kebebasan dan berbagai potensi lainnya, yang membutuhkan suatu
sentuhan, membutuhkan sentuhan tawaran yang bisa membangkitkan
berbagai kemungkinan yang ada di dalam dirinya, yang di situ pula
ruang-imajiner sebagai wilayah yang riil, unik dan penuh dengan
misteri (bukan abstraksi!) yang menunggu dan sekaligus pula membuka
diri terhadap tawaran dan tantangan yang datang dari luar dirinya.
Tentu ruang-imajiner akan selalu mendapatkan tawaran, atau bahkan
serbuan yang tidak henti-hentinya yang datang dari produk industri
kebudayaan dan industri politik, yang secara populer kita sebut
konsumerisme ekonomis dan politis, dan menggiring publik kepada
kehendak kekuasaan rejim politik dan ekonomi yang berkuasa. Dalam
kondisi seperti itu, pertanyaan kita, di mana dan bagaimana posisi
teater, jika tidak dirinya mampu membongkar dan memberikan pilihan
lain kepada warga yang dirampok hak-haknya. Tentunya, seperti harapan
kita semua, teater tidak akan membiarkan dan menjadikan dirinya
bagian dari kebudayaan bisu yang merebak ke dalam berbagai lapisan
sosial. Walaupun kita juga menyaksikan adanya berbagai grup teater
diberbagai kota yang menjadi bagian dari proses rejimentasi,
mereproduksi cara-cara yang digunakan oleh rejim yang berkuasa: tak
menghargai hak-hak warga, dan tidak juga menghormati warga yang
memiliki ruang-imajiner. Untuk menghadapi situasi dan kondisi represi
politik dan ekonomi itu, seperti kehendak dan harapan yang
dicanangkan oleh KPH, bahwa dirinya melakukan sesuatu yang
berseberangan, dan mengadakan "counter" – apapun resikonya – terhadap
situasi dan kondisi itu. Penegasan sikap KPH itu tentunya juga
membutuhkan suatu kebersamaan sebagai bentuk dari kehadiran dirinya
di tengah-tengah gelombang dan perubahan kebudayaan yang selalu
berada pada batas ambang tarik-menarik antara di satu pihak dirinya
sebagai pelatuk yang berusaha untuk menciptakan "counter" dan di lain
pihak godaan untuk menjadi mapan, atau mengikuti arus yang ada.
Godaan itu bisa berbentuk tawaran yang silih berganti datang dari
misalnya partai politik, yang kini nampaknya makin "menyadari" posisi
kesenian, dan memasuki ruang dan wilayah kebudayaan sebagai bagian
dari politik yang ingin diterapkannya. Lihatlah misalnya dalam 1-2
tahun terakhir ini betapa makin gencarnya beberapa partai di Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang dengan tak segan-segan mengeluarkan biaya
yang tak sedikit untuk merangkul khususnya kesenian tradisi seperti
ketoprak, wayang kulit, juga bentuk kesenian tradisi lainnya, yang
tentunya akan makin gencar usaha itu ketika menghadapi kampanye
pemilu tahun 2004 yang akan datang. Apa yang dikerjakan oleh beberapa
partai (PAN dan PDI-P, dan Golkar nampaknya makin menyusut,
sehubungan dengan pergantian pimpinan daerah dan posisi politiknya
yang pada waktu rejim Orba sangat sulit untuk membedakan kegiatan
antara Golkar dengan kepentingan "sang tokoh" atau pimpinan daerah.
Jumbuhnya atau tiadanya batas yang jelas membuktikan juga suatu
bentuk kepentingan yang saling tumpang tindih dalam usaha pelestarian
kekuasaan yang ada) pada masa kini, post-Reformasi, rasanya tak lebih
dan tak kurang akan mengulangi bentuk yang lama; partai-partai
mereproduksi cara-cara rejim Orba, dan rejim Orba juga menjiplak dari
rejim yang mendahuluinya. Membaca dan mengurai sekilas posisi teater
(juga bentuk dan jenis kesenian lainnya) di dalam lingkungan dan
kondisi sosial politik kita, berarti selalu saja kesenian berada
pada posisi subordinatif, pada posisi yang senantiasa kesenian hanya
dijadikan "alat bantu" yang tidak setara, dan bahkan punya
kecenderungan untuk dimanipulasi bukan cuma untuk kepentingan politik
praktis untuk meraih kekuasan. Tapi, lebih jauh dari hal itu,
menciptakan massalisasi kesenian dan kebudayaan dalam bentuk
kebudayaan bisu, dan menista hak asali manusia: satu-satunya yang
masih dimiliki hanyalah ruang-imaniner, yang itupun dipojokan dan
akan dimusnahkan ke dalam bentuk manusia massal, masyarakat
gerombolan yang menganga dan menyuarakan berbagai bebunyian yang
bukan miliknya! Tantangan dan persoalan inilah yang dihadapi, yang
sesungguhnya bukan hanya oleh KPH saja, tapi juga oleh semua jenis
dan bentuk kesenian; tantangan kita semuanya di dalam menghadapi era
reproduksi jenis-bentuk dari sistem dan mekanisme industri ekonomis
dan politis.
Di antara gegap gempita gemuruh mesin reproduksi yang
diciptakan oleh kekuasaan politik dan ekonomi itulah KPH
menghadirkan "Kaspar" 1995/96 dan MBPD", dan beberapa reportoar
sebelumnya yang menjadi cikal bakal ke arah kedua pementasan itu yang
menandakan keterlibatan KPH yang makin jauh ke dalam berbagai
persoalan di dalam masyarakat, yang konsekuensi logisnya juga
mengartikan bahwa berbagai sudut pandangan ditujukan kepada dirinya,
dengan berbagai komentar, seperti misalnya tentang beban dan
perspektif "machoisme" pada reportoar "MBPD", seperti pendapat
seorang publik yang menganggap tubuh yang ditampilkan pada pementasan
itu. Pandangan tentang "machoisme" pada "MBPD" nampaknya berkaitan
dengan ketiadaan sosok perempuan, ini menurut tafsiran saya atas
pendapat publik, yang nampaknya tidak dapat ditolak, di antara
kecenderungan perspektif gender yang makin berkembang. Walaupun kita
juga menyaksikan adanya seorang pemain perempuan yang hadir pada
bagian akhir dari pertunjukan itu. Tapi, jika pandangan
tentang "machoisme" diletakan pada tubuh laki-laki yang hadir
pada "MBPD", rasanya perspektif itu kurang kuat. Sebab, saya kira,
kehadiran (tubuh) laki-laki yang mayoritas (dan hanya seorang
perempuan) pada "MBPD" bukanlah dan tidak sama sekali tubuh laki-laki
yang ekshibisionis, tidak pula punya kecenderungan narsistik
lantaran di dorong kepada kesadaran tubuh yang ter/di-pelihara untuk
ditonjol-tonjolkan ke hadapan jenis kelamin yang berbeda. Tentu masih
ada masalah dengan posisi "MBPD" yang memang kurang memberikan posisi
dan peran kepada kaum perempuan, yang hadir hanya selintas. Dan jika
kita tarik pada kecenderungan terakhir, dalam beberapa dekade
belakangan ini, nampaknya soal pemeliharaan tubuh jenis kelamin "laki-
laki" juga berkaitan dengan kecenderungan orientasi dan konsep
hubungan seksual yang bukan hanya pada jenis kelamin yang berbeda
saja, tapi juga sesama jenis, yang kita dapati pada masyarakat gay.
Di dalam masyarakat gay, seperti yang saya dengar dari seorang teman,
mereka sadar benar kepada tubuh mereka, seperti kesadaran mereka
kepada cara/tata busana. Sangat menarik jika kita masukan perspektif
teman saya itu ke dalam masalah "MBPD" dan dalam kaitannya dengan
posisi mayoritas tubuh laki-laki, yang berarti juga bahwa perspektif
gender yang menghitung posisi dan peran kaum perempuan dalam
aspek "kuantitas", seperti yang saya tekankan di dalam tulisan saya
ini, maka kemungkinan "MBPD" tidak bisa dikategorikan ke dalam
bias "ketidakadilan gender"? Hal ini berarti mempunyai konsekuensi
logis bahwa kehadiran tubuh laki-laki belum tentu
sepenuhnya "mewakili" atau representasi jenis kelamin "laki-laki". Di
sini kembali kita di hadapkan kepada batas ambang yang samar dan
jumbuh serta ketaksaan (ambiguity) eksistensi teater dalam kaitannya
dengan tubuh dan konsep kebudayaan yang ter/di-bentuk di dalam
masyarakat kita.
Jika kita membicarakan tentang "machoisme" dan teater,
mungkin paling baik kita memperbandingkannya antara "MBPD"
dengan "Perang Bubat" karya Joko Bibit Santosa, teater Ruang (Solo)
yang dipentaskan di Solo dan Bandung (1997-98) yang memang pada
pementasan grup dari Solo itu terasa sekali beban "machoisme" yang
nampaknya tak terhindarkan berkaitan dengan keperkasaan dan
keperwiraan atau heroisme kaum pendukung kebudayaan patriaki melalui
tubuh yang dipandang sebagai representasi dari usaha untuk meraih
seorang perempuan. Tubuh laki-laki di dalam pementasan itu didekat
dengan "estetisme", suatu pendekatan dan keyakinan kepada sesuatu
yang diperindah yang sudah pasti mengarah kepada ekshibisionisme dan
sekaligus narsistik yang didukung oleh tehnik akrobatik, yang dengan
tehnik ini pula makin menonjollah tubuh laki-laki yang diciptakan
perkasa hadir di hadapan publik sebagai lambang dan tanda suatu
kekuasan politik. Sedangkan pada "MBPD" kita menyaksikan kehadiran
tubuh (laki-laki) yang ringkih, ada kesan bolot, penuh tanda tanya
dan berusaha melakukan perlawanan, bahkan setelah dirinya sampai
masuk ke liang kubur. Konsekuensi logis dari acungan kepalan tangan
itulah yang membuat saya agak terganggu, lantaran hal itu masuk ke
dalam kehidupan sehari-hari saya dalam bentuk reproduksi pelajaran
sejarah, ungkapan para "pejuang" (dan entah apa yang diperjuangkan!),
seperti yang sering kita dengar: berjuang sampai titik darah
penghabisan; perlawanan tak akan pernah dapat dihentikan. Gangguan
itu saya rasakan karena teater tidak berjarak dari realitas
lingkungan sosialnya, dan melakukan reproduksi secara wadag.
Permasalahan inilah yang sering membuat kita juga kurang sreg dengan
sosio-drama yang ada di teve atau radio, berusaha untuk menjelas-
jelaskan, "klarifikasi" yang berlebihan (over clarification), yang
menjadikan teater bukan sebagai "jembatan" bagi seseorang untuk
menembus eksistensi sosialnya, tapi, justeru menjadi tumpukan
reproduksi. Masalah teater di dalam masyarakat, salah satunya, adalah
bahwa dirinya dihadapkan kepada usaha untuk menafsirkan secara kritis
dan cerdas, dan bagaimana tidak terpaku ke dalam sesuatu yang telah
ada di sekitar kita, yang nampak maupun yang tak kasat mata.
Bagaimanapun "realis"-nya suatu bentuk teater, suatu pementasan yang
cerdas senantiasa mengantarkan kita kepada tafsiran yang terbuka
kepada "realitas" yang ditampilkan "menjadi persis", karena dirinya
berusaha bergeser, tak menetap di/ke-dalam suatu konsep maupun benda
kebudayaan yang "sudah jadi". Logika ini bisa mengandaikan dan
mengartikan bahwa semua teater bukan lantaran memiliki alur
yang "linear", atau "non-liear" atau struktur yang telah dihancurkan,
didekonstruksi, yang ter/di-buka kepada berbagai kemungkinan tafsiran
oleh siapa saja untuk memasukinya. Tapi, pada awalnya
adalah "kualitas ruang" kehadirannya yang berupa kapasitas untuk
menciptakan dirinya sebagai "medium pencipta jarak" ke hadapan
siapapun juga. Dari "jarak" itulah teater bisa meraih dan menciptakan
suatu momentum jeda ("stop sejenak!", kira-kira begitu, kalau saya
menggunakan kalimat. Tapi, masalah yang sebenarnya tidak bisa
dideskripsikan oleh kata-kata; karena ada "ruang misterius" yang juga
diciptakan oleh siapa saja dari publik yang melakukan dan saling
internaktif) kepada publik, yang di dalam momentum itu pulalah segala
sesuatu yang bersifat reflektif hadir di hadapannya, di antara
perjalanan hidup sehari-hari yang selalu ditekan dan dijejalkan
(represi konsumserisme) berbagai reproduksi benda dan nilai dari
sistem industri politis-ekonomis yang dipuja dan dijadikan berhala.
Itulah kenapa teater epik senantiasa digunakan oleh berbagai rejim
ororitarian yang sentralistik yang menginginkan suatu penyajian epik
dengan segala sesuatunya harus tepat yang berangkat dari kehendak
kekuasaan. Ketepatan di sini dinilai oleh suatu kepentingan mekanisme
politik. Dengan kata lain, teater epik menjadi medium bagi legitimasi
rejim yang berkuasa. Namun, jika ada "peluang" untuk melihat,
nampaknya sudah "takdir" bagi teater, seperti juga "takdir" bagi
manusia, bahwa senantiasa saja ada "cacat" yang tercipta di dalam
berbagai kehadiran teater itu sendiri: epik tak sepenuhnya bisa
membungkam ruang-imajiner, relung-relung misteri dari proses manusia
menjadi dirinya untuk berada di antara "momentum jeda". Tapi, kita
tidak bisa menggunakan logika untuk menyatakan: marilah kita biarkan
teater seperti itu, "apa adanya" karena sudah dari "asal-muasalnya",
dari "takdirnya" bersama manusia telah dan untuk "menjadi cacat".
Saya harap saya tidak "nglantur ngalor ngidul", bicara tidak
karuan dalam kaitannya dengan kehadiran teater, di mana ada cukup
banyak kata-kata di antara tanda petik ("...") yang seolah-olah saya
dipaksa untuk membicarakan sesuatu yang terlalu jauh. Saya ingin
membatasi hal itu, tapi juga sekaligus saya merasa perlu untuk
membeberkan secara selintas sesuatu yang saya lihat dan saya rasakan.
Itulah makanya saya merasa, ada hubungan yang kuat yang tidak bisa
dihindari antara kehadiran sosok manusia yang memiliki status warga
sebagai individu dengan jenis dan bentuk kesenian yang satu dengan
lainnya memiliki ikatan. Nah, ikatan itulah yang coba saya bahas.
Sebab, dengan ikatan itu pula kita sering memasuki suatu babakan
kehidupan di mana diri merasa aman, terlindungi, seolah-olah tanpa
resiko, dan pada sisi lainnya dengan ikatan itu pula kita
sesungguhnya dibuat tak berdaya, direduksi, dipaksa untuk tidak
menolak, menerima apa yang ada di hadapan kita. Teater, sangat
terikat bukan hanya dengan ruang dan waktu dan dengan pemeluknya,
tapi juga ada sesuatu yang sulit untuk kita gambarkan secara
deskriptif. Maaf, saya tidak sedang bicara tentang supra natural,
juga tidak sedang bicara tentang ketahyulan. Yang ingin saya
sampaikan di sini adalah bentuk dan kondisi rentangan dari ketegangan
antara teater yang berhadapan dengan publik, dan dirinya diharapkan
untuk tidak menciptakan suatu "masyarakat gerombolan" seperti yang
dikerjakan oleh partai politik, rejim penguasa, kekuatan industri,
tapi sosok manusia yang secara individual memiliki status warga
kebudayaan, warga negara, warga sosial, warga dari suatu proses yang
tidak atau belum jelas akan menjadi apa pada masa yang akan datang.
Sebenarnya masalah yang saya sampaikan bisa kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari pada bidang apapun juga. Namun hal itu
nampaknya tidak sesederhana seperti yang saya duga sebelumnya, sama
seperti juga ketika saya berhadapan dengan masalah yang
dianggap "tradisi" yang banyak dibicarakan oleh banyak orang pada
waktu saya mengunjungi berbagai wilayah kebudayaan, khususnya di
Solo, sebagai salah satu geografi kultural yang memiliki rentang
sejarah proses yang intensif dalam pencanggihan dirinya. Mungkin
banyak orang yang akan menganggap bahwa suatu proses pencanggihan
sebagai proses dan kondisi yang "ideal". Bagi saya, pencanggihan itu
bergantung kepada siapa yang "menciptakannya" dan siapa pula
yang "mengelolanya". Sebab, suatu proses dan kondisi pencanggihan
sangat kuat kaitannya dengan proses politik kebudayaan dari kekuasan
politik yang sedang berusahan untuk menciptakan legitimasi, dan
mengukuhkan dirinya sebagai yang valid, dan di situ pula kita akan
mendapatkan berbagai usaha untuk menciptakan "jarak sosial". Suatu
karya tari bedaya yang dianggap "budayawi" dan "adiluhung" sudah
pasti tidak mungkin dipentaskan di sebuah halaman rumah di tengah
kampung. Karya itu memiliki ruang secara fisik dan sosial pada
wilayah tertentu. Soal yang kita hadapi "jarak sosial" itulah yang
membuat siapa saja di dalam lingkup geografi budaya dan tradisi yang
menerima secara valid tentang hal itu, yang sekaligus pula bisa
menjadi persoalan: adakah ruang imajiner bagi setiap orang untuk
menafsirkan secara individual di dalam kesepakatan yang telah
ditanamkan sejak ratusan tahun yang lalu ketika rejim tradisi melalui
sistem dan mekanisme pendidikan dan proses sosialisasi merasuk ke
dalam warga-kerajaan. Jika kita mengambil kasus gamelan, dunia
karawitan, saya dengar dari beberapa teman seniman tradisi, bahwa di
dalam dunia tradisi itu terdapat ruang penafsiran yang leluasa bagi
siapa saja, yang tentunya juga bisa dan dapat memahami secara teknis.
Kalau tidak salah, dengan mengutip apa yang dinyatakan oleh Prof.
Sumarsam, gurubesar karawitan di Universitas Wesleyan, Amerika, di
dalam dunia karawitan terdapat "surasaning lagu" atau "lagu batin"
(inner melody) yang merupakan proses dan perwujudan dari sejak
ketaqlidan awal yang harus dipatuhi oleh seseorang yang belajar
menabuh gamelan sampai dengan suatu kondisi dirinya memahami secara
mendalam, dan di situ pulalah dia mampu bermain dengan cara dan
suasana hatinya. Secara "teknis" di situ pula "improvisasi" merupakan
sesuatu yang bisa kita gambarkan sebagai "naluri" yang diciptakan
oleh tradisi. Sementara itu, seseorang yang baru pada tahap menghapal
dan melihat serta membaca notasi, tentu saja dirinya baru sekedar
bisa "meraba-raba" dan mencari kepastian ketukan dari tangga nada.
Penafsiran saya terhadap tradisi yang berangkat dari kasus gamelan,
dunia karawitan, juga mengantarkan saya kepada apa yang saya yakini
bahwa dunia tradisi sesungguhnya memiliki kebebasan individual, dan
tidak seperti anggapan dari kalangan "moderenis" yang banal, yang
menyatakan bahwa tradisi tidak dapat dan tidak pula memberikan posisi
kepada individu untuk memasuki dunianya secara bebas. Masalah yang
sama juga pada anggapan "pakem" yang selalu dianggap tak
dapat "dikutak-kutik"; harus diterima dengan patuh, dan mendapat
anggapan bahwa "pakem" sudah "dari sana"-nya, seolah-olah datang dari
langit. Padahal, "pakem" merupakan "ukuran" atau "pegangan" yang
diciptakan oleh suatu konsep dan konstruk kebudayaan. Konsekuensi
logisnya, tentu saja hal itu bisa berubah seperti juga kebudayaan
pasti akan berubah pada setiap jaman. Dan karena itu juga makanya
ada begitu banyak tradisi, dan kebudayaan dipenuhi oleh sosok-sosok
seperti para mpu dan berbagai seniman lainnya. Saya masih ingin
menambahkan sedikit gambaran ini, masih dari dunia tradisi, dari
dunia ketoprak. Seperti juga dunia lenong, ketoprak yang didasarkan –
umumnya – kepada babad (sejarah) Jawa (juga beberapa adaptasi lakon
Cina, seperti "Sam Pek Eng Tay", dan bahkan ada juga adaptasi lakon
dari "Romeo & Juliet" karya William Shakespeare) mempunyai "kerangka
dialog" dan alur cerita yang sangat longgar. Setiap pemain hanya
diberikan suatu posisi, peran dan diberikan kerangka cerita yang
isiannya sangat bergantung kepada kapasitas proses pemain; kematangan
sangat menentukan bagi pemain ketoprak untuk menciptakan suatu dunia
yang dibentuk di atas panggung; dan kematangan serta kepiawaian itu
jugalah yang satu dengan lainnya di antara pemain saling menguji
melalui berbagai perbendaharaan bahasa dan sastera, dan sering
mereka "saling memojokan" dan "saling menjegal" lawan mainnya melalui
dialog. Dialog menjadi sesuatu batu ujian; di dalamnya pemahaman dan
kematangan tentang "sastera" dan identik dengan kemampuannya di dalam
lika-liku tatanan di dalam struktur bahasa Jawa yang sangat rumit.
Bahasa menjadi medium untuk menentukan posisi dan peran dan sekaligus
ikut menentukan seseorang sejauh manakah dia memang mampu menciptakan
dunia yang digenggamnya. Dalam sajian dunia tradisi itulah publik
memasuki ruang tafsir yang telah ditentukan oleh struktur, yang
sesungguhnya sangat longgar, dan selalu memberikan tempat kepada
publik. Pemain yang "menggurui" dianggap "sok tahu" dan "keminter"
(sok pinter). Sama halnya pemain yang membuat suatu "perangkap" agar
lawan mainnya terjegal atau terpojok dengan cara yang "kasar" akan
dianggap kurang matang dan kurang memahami penciptaan suatu dunia
(sajian) yang terbuka.
Di dalam tradisi yang selama ini terjadi kesalahkaprahan dan
dianggap "kaku", seperti dunia karawitan dan ketoprak untuk mengambil
dua contoh kasus, yang sesungguhnya juga terdapat pada khasanah
tradisi lainnya, seperti wayang orang, wayang kulit, juga pada tari
tradisi Pakarena di Sulawesi Selatan, terdapat proses penciptaan
ruang bagi publik untuk ikut serta, berpartisipasi, dan dengan itu
pula penciptaan "momentum jeda" selalu tersedia yang mengantarkan
publik kepada rentangan benang merah refleksi historis dengan situasi-
kondisi aktual kehidupan sehari-hari sang penanggap (publik).
Makanya, saya sering bertanya-tanya, bukankah suatu bentuk
kesenian "moderen" seperti teater yang hidup di dalam masyarakat
urban dan memiliki kecenderungan kosmopolitan, dan dengan ke-
"moderen"-annya itu semestinya (atau sebaiknya) teater memiliki
kesadaran kepada individuasi, suatu proses pembentukan individualitas
bukan hanya pada dirinya saja, tapi juga kepada setiap publik. Dan
indivisuasi itu, saya pikir, sangat kuat kaitannya dengan kapasitas
ruang-imajiner. Tentu ruang-imajiner itu sangat ditakutkan oleh
berbagai rejim apapun ideologinya. Karena itu banyak diberbagai
wilayah berusaha untuk bagaimana menciptakan mesin ideologis dan
ekonomis pencuci otak, "brain washing" melalui berbagai jenis-bentuk
reproduksi konsumsi yang seiring dan sejalan dengan keinginan
kekuasan yang ada, dan menjadikan siapa saja sebagai anggota
gerombolan konsumen. Atau, sekarang kita justeru sedang menghadapi
suatu kondisi, khususnya di Indonesia, ketika "individualitas" sedang
menampakan dirinya, dan lalu muncul sikap megalomanian dan dia tidak
lagi memikirkan individu lainnya, sesamanya, suatu bentuk keserakahan
yang ingin dikangkangi oleh dirinya sendiri, apalagi pada saat
dirinya menguasai suatu wilayah kekuasaan, ruang bagi dirinya,
termasuk panggung tempat di mana dia hadir sebagai fokus dari proses
kebudayaan? Teater, sebagai suatu bentuk grup, gampangannya,
merupakan suatu bentuk ikatan sosial, suatu komitmen kepada nilai dan
bentuk ada-bersama di dalam kehidupan warga. Ujian bagi teater, salah
satunya, tentunya juga tak sekedar membagi dirinya satu sama lainnya
di dalam lingkungan internalnya saja. Tapi, lebih dari itu, dia
dituntut secara moral untuk memberikan perhatian kepada orang lain;
perhatian kepada berbagai kapasitas dan potensi yang tersimpan di
dalam diri setiap orang. Sangat menarik apa yang diungkapkan oleh
Erich Fromm dalam bukunya "Revolution of Hope" (Revolusi Harapan),
bahwa soal hubungan antar manusia salah satu yang paling penting
adalah masalah "perhatian", yang dia kutip dan tafsirkan dari bahasa
Latin, "interesse", yang artinya "ada di antara". Dan teater,
begitulah kemestiannya yang ada pada dirinya, walaupun dengan kondisi
itu dia juga akan banyak menghadapi problema dan bahkan dillema yang
tak kunjung selesai, yang membuat dirinya senantiasa berada di dalam
rentang ketegangan tarik-menarik antara kondisi dan posisi
internalnya dengan sejumlah masalah yang ada di sekitarnya. Masalah
dan tantangan itu rasanya justeru makin membuat teater terus hidup,
jika saja dia menyadari dirinya "ada di antara" .........!
"Ada di antara" itu pulalah KPH yang menahan beban tegangan
tarikan yang di hadapinya yang membuat dirinya sering tergoda untuk
memasuki lebih jauh problematika kehidupan yang sangat kompleks dan
menganggap bahwa semua persoalan bisa dihadapi, dan sementara itu
pula dirinya berhadapan dengan keterbatasan, misalnya tiadanya
representasi sosok tubuh perempuan secara setara di dalam imbangan
kuantitas kehadiran tubuh itu, maupun secara kualitas dalam
perspektif isian dari kehadiran KPH. Maka jika ada orang yang
menganggap bahwa KPH mempunyai kecenderungan "machoistik" dalam
reportoar "MBPD", seperti yang saya pernah dengar dari salah seorang
publik di Solo pada obrolan di warung depan Teater Arena Taman Budaya
Surakarta (TBS), kemungkinan besar hal itu dilihat dari aspek
kuantitas kehadiran sosok perempuan yang tidak cukup imbang di dalam
reportoar itu. Walaupun tentu saja pendapat itu masih bisa kita
perdebatkan. Tapi, baiklah kita bandingkan dengan grup teater Garasi
(Yogyakarta) pada Juli 2002 yang menghadirkan reportoar "Waktu Batu:
Kisah-Kisah Yang Bertemu di Ruang Tunggu", suatu penyajian dari hasil
riset mereka tentang berbagai mitos lokal di berbagai daerah, dengan
titik tolak perbandingan dari Candi Sukuh dan Candi Cetha di pinggang
Gunung Lawu, sebelah Timur Solo. Secara pribadi, saya sendiri
berharap "Waktu Batu" masih bisa dihadirkan dengan eksplorasi yang
lebih jauh dan matang, khususnya pada usaha mereka untuk mencoba
menggabungkan aspek "multi media" (video art), yang justeru sangat
mengganjal, bahkan cukup mengganggu, walaupun grup itu berusaha pula
dengan aspek "multi media" itu ingin menarik rentangan perspektif
waktu yang terputus-putus dalam berbagai peristiwa yang menyatu yang
bersifat "kolase". (Saya membayangkan, seandainya saja pementasan
itu bukan di Gedung Sasono Hinggil Dwi Abad, dan mereka bermain di
Alun-Alun Selatan, di antara kedua Ringin Kurung, dan sang kura-kura
itu terentang dan mengambang di antara kedua pohon itu, barangkali
pementasan itu makin menarik). "Waktu Batu" tidak memberikan suatu
alur seperti sebuah cerita dari suatu titik kepada titik lainnya dari
logika yang runtut; yang ada hanya sejenis berita atau sejenis
pernyataan atas peristiwa-peristiwa individual yang satu dengan
lainnya bisa saja saling bertabrakan, karena rentang waktu dan ruang
yang berbeda-beda. Jika ada "cerita", maka hal itu dibangun oleh
publik menurut dirinya sendiri. Di sini saya menyaksikan suatu ruang
tafsir terbuka yang menawarkan bentangan ruang kepada publik untuk
ada-bersama, "ada di antara" mereka, tanpa berupaya mengajak publik
untuk bersetuju dengan mereka. Menyaksikan "Waktu Batu" bisa saja
kita menyaksikannya bukan dari awal; atau siapa saja dari publik bisa
membangun "struktur cerita" dari belakang. Satu hal yang juga penting
yang perlu saya sampaikan untuk perbandingan ini, adalah bahwa teater
Garasi yang bermula memangkalkan diri di lingkungan kampus UGM, lalu
membangun komunitasnya yang lebih beragam di pinggiran selatan kota
Yogyakarta itu, memiliki imbangan yang cukup sebanding dari
perspektif kuantitas dengan kehadiran sosok-sosok kaum perempuan yang
mendapatkan posisi yang penting, dan makin terasa penting karena
hampir seluruh peristiwa "Waktu Batu" digerakan oleh kaum perempuan,
yang dengan enerjik, liat dan perkasa berada di dalam putaran dari
berbagai momentum.
Dalam beberapa reportoarnya KPH memang pernah menghadirkan posisi
perempuan, misalnya untuk menyebut beberapa lakonnya
seperti "Katakitamati" (1998) dan "Aku masih Hidup" (1996) adaptasi
dari lakon "Caligula" karya Albert Camus. Namun, saya masih merasakan
benar dalam konteks dan posisi KPH sebagai sebuah grup yang mempunyai
banyak hubungan dengan jaringan antar bangsa (internasional), yang
mau tidak mau semestinyalah KPH memiliki suatu perspektif gender.
Sebab, banyak kalangan orang teater di Indonesia yang jika memasuki
wilayah festival atau forum teater internasional selalu saja gagap
ketika persoalan dan pertanyaan yang sangat tajam ditujukan kepada
dirinya berkaitan dengan posisi kaum perempuan. Ambillah contoh
tentang sebuah grup teater yang pernah saya saksikan di kota kecil di
Amerika, Ann Arbor, dan semua pemain yang hanya 4 orang itu adalah
laki-laki. Bukan tidak ada perempuan, tapi soalnya teknis belaka.
Pemain perempuan sakit, dan penulis media massa lokal tak
mengetahuinya, maka pertanyaan tajam mencecar ketika diskusi setelah
pementasan. Pada sisi lain bahwa pentas itu sendiri merupakan bagian
dari usaha solidaritas antar bangsa tentang perjuangan bangsa
Palestina. Soal teknis dan tiadanya komunikasi yang jelas, membuat
soal jadi salah paham dan melebar ke arah tudingan perspektif politis-
ideologis yang dianggap tidak adil dan pada saat yang berbarengan
perspektif gender memang sedang getol dimana-mana. Bukan tidak
mungkin akan muncul praduga atau bahkan dugaan yang bersifat
menghakimi KPH yang selalu menyuarakan "human condition" dan masalah
kemanusiaan lainnya, tapi dimana dan kemana posisi kaum perempuan
yang justeru menjadi mayoritas populasi penduduk Indonesia dan bahkan
dunia. Bayangkanlah kira-kira peertanyaan dan gugatannya seperti itu,
dan soal itu bukan tidak mungkin akan muncul, seperti selalu banyak
dipertanyakan dalam berbagai isu seni pertunjukan yang bukan cuma
bersifat multikultural tapi juga kesetaraan dan keadilan kepada
posisi-fungsi sesama manusia, termasuk di antaranya posisi kaum
perempuan.
Jadi, mengulang argumentasi kesulitan mencari pemain perempuan memang
masuk akal, seperti kita juga selalu mengalami kesulitan mencari
pemain yang memiliki daya tahan yang tinggi, apapun jenis kelaminnya,
apalagi dengan sepenuh hati didalam dunia teater. Tapi sekali lagi,
saya pikir, lebih masuk akal jika KPH memikirkan soal ini dalam
kaitannya dengan prinsip KPH sendiri yang menyuarakan jaman di dalam
lingkungan sosialnya, maupun jaman yang memang menuntut hal itu.
Sebab, diantara kecanggihan tehnik, daya tahan yang tinggi, serta
komitmen para anggota komunitasnya, KPH merupakan grup yang bisa kita
harapkan untuk masa yang akan datang, yang masih akan ikut memberikan
inspirasi kepada berbagai kalangan didalam dan diluar teater untuk
melihat realitas kehidupan dan posisi-kondisi manusia maupun soal
teater itu sendiri. Dan bicara soal itu, pengaruh-mempengaruhi yang
sudah jamak dalam bidang apapun juga dan kewajaran dalam proses
kreatif dunia kesenian, adalah perlu dicatat ketika bersama Teater
SAE (Jakarta) dan KPH ikut memberikan tawaran, alternatif dan
berusaha membongkar perspektif teater, sehingga ikut memperkaya seni
pertunjukan di lingkungan kita, yang melalui keduanya sebagai pelatuk
penyambung dari perubahan pendekatan terhadap kehadiran teater yang
menyadari tubuh dan benda-benda yang bukan hanya sekedar properti
belaka. Seperti halnya pada grup teater Mandiri melalui visi Putu
Wijaya yang juga ikut mengantarkan kita kepada sudut pandang tentang
teater yang batas ambang tafsiran bentuknya memberikan keterbukaan
kepada publik melalui struktur ruang dramaturgi urban dan
bersifat "futuristik" yang kritis kepada moderenisme dan rejim sosial-
politik yang menciptakan penyeragaman dan kebudayaan bisu, dan dari
situ pulalah teater Mandiri melakukan "teror" kepada publik yang
telah mengalami dan memasuki situasi membeku akibat sistem yang ada.
Apa yang dihadirkan oleh teater Mandiri, lebih sebagai palu
penghancur kejumudan cara berpikir, perasaan kita; dan dengan
gempuran itulah teater Mandiri membuka, menguak berbagai kemungkinan
ruang-imajinasi kita, melalui kehadirannya yang ekspresif, liar dan
dengan enerji yang mbludag. Kita juga bersyukur kepada mpu taeter
moderen kita, Arifin C. Noor dengan grup teater Kecil-nya, melalui
lakon-lakonnya yang dikerangkakan dalam perspektif "interaktif",
ulang-alik berbagai perspektif waktu, yang membuat ruang-imajiner
terus bergeser dan berkembang tumpang tindih serta saling-silangnya
perspektif sosio-historis terhadap tradisi lokal yang dihadirkan di
hadapan kita melalui berbagai tokohnya dari kalangan "under ground",
dunia hitam dan mitos pewayangan menjadi aktual dan hidup kembali
melalui visi Arifin C. Noor. Mereka telah juga ikut memahatkan pada
batu nisan-teater mereka. Pada berbagai batu nisan-teater itulah kita
bisa membaca, seperti kemestian kita membaca serta melacak dari batu-
batu nisan kebudayaan dan kesenian yang ada di lingkungan kita.
Dan KPH yang telah memasuki usia dua puluh tahun dengan pengabdian
totalnya Rachman Sabur beserta dukungan keluarga batihnya, dan
keluarga besar KPH yang memiliki beragam potensi-kapasitas enerji
yang ditumpahkan untuk teater, pasti akan memberikan semburan
inspirasi kepada berbagai grup lainnya, jika makin disadari adanya
proses yang terus berubah pada berbagai aspek kehidupan, yang
didukung dari dan dengan tradisi pelacakan (reseach). Sebab, kita
perlu menyadari pula, betapa ringkihnya dunia pemikiran kita yang
selalu dipenuhi oleh berbagai pernyataan, sementara itu selalu kita
lemah dalam argumentasi yang disampaikan. Bagi saya, perenungan hanya
bisa kita ciptakan apabila kita memiliki proses pelacakan kepada akar
persoalan kehidupan kita. Pelacakan itu termasuk di antaranya
bagaimana KPH belajar dari "kegagalan" grup-grup yang mendahuluinya,
atau sesama grup dijamannya, yang selalu saja mengalami kejumudan,
kemandegan, atau bahkan bubar di tengah jalan, ketika sang pendiri
yang juga merangkap sutradara pergi ke dunia lain, atau kesalahan
manajemen yang bersifat recehan yang berakibat pada konflik internal,
atau saling memecat lantaran hanya ada anggapan bahwa salah seorang
anggota grup menciptakan suatu karya untuk dirinya pribadi pada
bidang lain (misalnya tari atau musik) seperti di Solo, yang
dianggap "mencuri" gagasan atau "metode". Cara pandang seperti yang
terjadi di Solo itu, merupakan suatu sikap yang menganggap bahwa sang
sutradara atau grup seolah-olah memiliki "hak asli penciptaan" (yang
mungkin dianggapnya datang dari Tuhan!). Kenapa pula dirinya atau
grup itu tidak bertanya bahwa dia atau grup itu juga berhubungan
dengan orang lain dan hidup bersama lingkungssn sosial, dan saling
mengenal satu dengan grup lainnya, dan pernah bertemu pula di dalam
berbagai forum teater atau woksyop. Artinya, "orisinalitas" tidak
bisa hanya dinyatakan, di klaim dan dianggap sebagai milik pribadi
atau grup. Sebab, di dalam proses kebudayaan, di dalam proses
penciptaan kesenian saling mempengaruhi dan menimba dari orang lain
dan dari lingkungan sosial lainnya merupakan hal yang biasa, suatu
kewajaran dan kewajiban yang justeru perlu ditumbuhkan. Di
dalam "research", suatu pelacakan tak pernah datang dari kondisi
putih bersih atau pemikiran yang kosong-blong. Selalu ada kerangka
awal, betapapun belum jadinya, sebagai pijakan atau ancang-ancang
untuk melakukan proses kerja. Hal itu berarti pula suatu kesadaran
kepada keterbatasan dan menyadari adanya suatu dunia yang secara
bersama-sama kita hadapi.
Diri kita dihadapkan kepada keterbatasan kondisi kita, maka kesadaran
kepada kondisi itu dengan berupaya untuk menciptakan atmosfer
dialogis dan diskusi kritis yang juga merupakan bagian dari
pelacakan, serta usaha untuk selalu bisa juga mengembangkan berbagai
potensi dan kapasitas anggotanya, rasanya makin penting dan dituntut
untuk diwujudkan, yang berangkat dari berbagai potensi dan kapasitas
yang ada dan dimiliki, termasuk diantaranya secara mendasar bagaimana
lebih melibatkan kaum perempuan yang harus dipandang secara setara,
dan bukan sekedar pelengkap penderita yang bersifat subordinatif.
Sebab, jika kita tidak lagi kritis kepada tuntutan jaman atau
kehendak sejarah yang ada serta cikal bakal diri kita yang lahir dari
gua garba kehidupan yang bersemai dalam kehidupan perempuan, maka
kita akan terhukum secara historis: marilah belajar dari si Malin
Kundang!
-o-

Post Scriptum:
Domestifikasi (dan kontekstualisasi) tema dalam dunia teater juga
bisa "memperangkap" kita kedalam kondisi ke-se-saat-an, tak tahan
pada rentang waktu yang merupakan bentuk dari kontekstualisasi yang
dangkal. Dan hal Ini merupakan dillema yang dihadapi oleh kita
ketika teater yang ingin menyuarakan berbagai sengkarut masalah jaman
dan kondisi sosial yang ada disekitarnya dengan idiom-idiom yang
dikenal oleh publik, namun disajikan secara "polos". "Kaspar" 2001
merupakan suatu kasus yang menarik untuk kita bahas dan kita
bandingkan dengan "Kaspar" 1995-96. Pada "Kaspar" 2001 terasa sekali
begitu derasnya informasi keseharian bagaikan berita pada koran,
majalah dan teve yang disodorkan kepada publik, dari soal bom, peran
TNI (plesetan dari TNT, jenis bom), dan tingkah laku paranoia dari
kalangan militer, sampai dengan pernyataan perlawanan dan mendapatkan
kemenangan yang disimbolkan oleh gaya bermain sepakbola "olle, olle,
olle!" yang disisipkan sebagai bagian dari humor sosial. Dari hal
itu, mendasarkan diri dengan konteks lingkungan sosial dan memasukan
berbagai peristiwa keseharian yang terjadi, isu-isu yang aktual, maka
teater mengalami keterbatasan daya tahannya. Tentu kondisi dan watak
teater itu sendiri memang kondisional dan situasional (pendapat ini
saya kutip dari Ariel Heryanto dari berbagai diskusi pribadi
dengannya pada tahun 1980-an) yang membuat dirinya selalu terbatas
dalam ruang dan waktu tertentu. Tapi, dalam kaitan dengan apa yang
saya nyatakan di atas, artinya, keterbatasan dan ke-se-saat-an
(timely) adalah kondisi yang makin membuat teater mendapatkan
tantangan: ketegangan antara ke-se-saat-an pada rentang waktu
kekiniannya dengan usahanya untuk selalu berada pada ruang-imajiner
publik yang bisa menjadi jaringan memori informasi individualnya
membentuk ke arah jaringan memori informasi sosial. Bukankah makna
dan fungsi tradisi terbentuk lantaran adanya suatu dinamika tarik-
menarik, ketegangan keseharian yang disampaikan dari orang ke orang
lainnya dalam proses kebudayaan pada suatu ruang dan waktu yang
selalu ditafsirkan oleh siapapun yang menerimanya?
Dan kita dihadapkan kepada posisi teater yang bukan hanya bisa
dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi di dalam lingkungannya
sendiri pada saat itu saja, yang dibalik itu terkandung pula harapan,
impian dan kehendak untuk bagaimana teater senantiasa hadir di dalam
berbagai peristiwa sosial maupun individual, yang sebenarnya
kapasitas itu dimiliki oleh teater yang bisa menerobos, menelusup dan
memiliki daya tahan yang panjang, tontonan yang selalu membawa orang
kepada berbagai bentuk ruang imajinasi pada berbagai
peristiwa. "Kaspar" 1995-96 merupakan suatu contoh baik bagi kita
semuanya dimana masalah dasar kemanusiaan dan hubungan antara bahasa,
komunikasi, ideologi dan kondisi represif yang selalu dihadapkan
kepada siapa saja dan pada jaman apa saja. Makanya, yang menbedakan
antara "Kaspar" 1995-96 dengan "Kaspar" 2001 terletak pada pendekatan
garapannya, pada kualitas penciptaan dan perspektif serta pengolahan
masalah yang di hadapinya, termasuk dalam hal ini penciptaan momentum
jeda, yang sekaligus mengartikan adanya pergeseran, perubahan cara
pandang dalam melihat persoalan kehidupan dan posisi teater.
Dan pendekatan garapan inilah yang juga yanag sangat kompleks yang
membuat kita sering merasakan tontonan itu menjadi dan sebagai milik
kita. Apa yang disajikan oleh Rendra melalui "Oedipus"-nya itu
mengingatkan kita kepada kemanusiaan yang bisa terjadi sepanjang
jaman, tentang hubungan manusia antara bapak-anak dan kekuasaan serta
sejumlah ambisi yang ada yang selalu mendorong manusia kearah
pengrusakan dirinya dan orang lain, serta rasa bersalah yang
menghantuinya terus menerus. Namun, tontonan itu pula menjadi terasa
sebagai milik dan dekat dengan kita, karena memiliki visi didalam
pemilihan dan pengolahan, serta secara teknis misalnya penggunaan
sarung atau jenis kostum. Namun kita masih punya problema. Ketika
begitu banyak orang menggarap naskah-naskah klasik gaya Yunani-Roma
dengan kostum ala "Benhur", "Spartacus" atau "Cleopatra" yang
mungkin diambilnya begitu saja dari film atau pementasan di Eropa,
Rendra dengan jitu dan visioner mengubahnya, dan membumikan tata
busana yang sesungguhnya bukan sekedar teknis-kostum belaka: sebagai
simbol, sebagai tanda, sebagai teks visual mendekatkan diri kita
kepada persoalan yang dihadapi oleh "Oedipus" yang telah menjadi
sosok "Rendra", dan Rendra telah menjadi "Oedipus" yang hidup
disekeliling kita.
Dan kembali kepada "Kaspar" 1995-96 maupun "Kaspar" 2001, kita
sebenarnya menyaksikan suatu tampilan dari berbagai properti dan
setting dan kostum yang mampu dan dapat menerobos berbagai situasi
dan kondisi, yang saya yakin bahwa hal itu bisa memasuki ruang yang
juga bukan hanya di Indonesia saja. Penbentukan kostum yang
menyajikan bentuk tubuh atau sosok yang nampak bolot, idiot, ke-bloon-
bloon-an figur manusia, dan dibarengi dengan gestur tubuh dan seluruh
gerak yang dahsyaat dari Toni Broer, membuat kita terharu, jijik,
tapi juga ada humor yang cerdas, dan sekaligus juga simpati-empati
kepada korban yang juga berusaha untuk melakukan suatu pelacakan
kepada posisi manusia serta pemberontakannya terhadap kondisi tidak
manusiawi yang dipaksakan oleh suatu sistem komunikasi. Dan
penafsiran serta pendekatan yang dilakukan oleh Rachman Sabur, yang
selalu memiliki rasa keprihatinan kepada berbagai peristiwa sosial-
politik, dan khususnya peran militer yang telah membuat keadaan di
Indonesia kacau balau, merupakan usahanya untuk membumikan reportoar
yang ditulis Peter Handke itu kedalam situasi-kondisi di Indonesia,
membuat "Kaspar" 2001 sangat berbeda dengan "Kaspar" 1995-96.
Dan kita masih tetap menghadapi dillema, dan sekaligus pula masalah
mendasar yang dalam dua dekade terakhir melanda masyarakat kita dalam
kaitannya dengan sistem industri pakaian, yang mau tidak mau juga
batas antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang telah
diseragamkan oleh mode atau pakaian yang dihasilkan oleh industri
itu, membawa diri kita kepada cara memandang suatu teks visual (tata
busana, kostum) yang dihadirkan oleh suatu sajian teater. Ambilah
misalnya jika kita menbandingkan cara pandang kita dalam hubungannya
antara teks visual (kostum) yang satu dekade tertentu dengan dekade
lainnya. "Waiting for Godot" yang hampir setiap pementasannya
mengenakan kostum "Barat", kini makin terasa dekat dengan kita. Hal
itu lantaran kita sudah makin masuk kedalam teks visual yang sehari-
hari ada pada kita, yang kita temui dijalanan, media massa cetakan &
elektronika, ruang pamer, dan bahkan kitapun kerap pula memakainya.
Namun, mungkin sebaliknya akan terasa berbeda ketika sarung, kebaya,
peci, blangkon atau tata busana tradisi digunakan sehubungan dengan
makin tergusurnya khasanah budaya pakaian tersebut dikalangan
khususnya persepsi kaum muda. Atau, justeru sebaliknya berkaitan
dengan makin bangkitnya kesadaran nasionalisme etnik, nasionalisme
lokal yang selalu diidentikan dengan berbagai kostum "tradisi", maka
kostum tradisi pada teater akan makin dikenali oleh lingkungan
publiknya? Dari hal ini kembali kita di hadapkan kepada pergeseran
dan perubahan makna tanda, simbol beserta berbagai hal lainnya yang
saling tumpang tindih, yang juga suatu tantangan bagi pekerja teater
atau siapa saja untuk tidak bisa menetap di dalam suatu wilayah
pemahaman dan penafsiran.
Tentu hal itu juga berkaitan dengan soal konsep teater dan teks
literernya, reportoar yang menjadi garapannya. Artinya, suatu garapan
yang sama tetap memiliki masalah dalam rentang perbedaan waktu
tertentu, dari suatu jaman ke jaman lainnya. Dan untuk itu pula yang
saya nyatakan sebagai dillematis adalah bahwa domestifikasi sebagai
upaya praktis untuk mewujudkan kesadaran kontekstual disuatu pihak
berarti mengikuti dan menangkap gerak jaman yang disesuaikan dengan
tafsiran kepada kondisi sosio-historis pemanggungan. Dilain pihak
masalah domestifikasi bisa memperangkap garapan itu kedalam kondisi
keterbatasan yang sangat pendek pada alur yang dilaluinya, atau dalam
ungkapan yang populer, "bernafas pendek". Disinilah dialektika teater
menjadi sangat menarik, disitu pula teater senantiasa membutuhkan
tafsir yang terus-menerus, berdasarkan konteks sosio-historis dari
teks literer itu sendiri, dan konteks sosio-historis pada waktu-
ruang proses serta pemanggungannya, dan bagaimana menghadirkan
dirinya untuk rentang waktu dan ruang yang berbeda namun bisa
diterima oleh publik. Di antara itu, terdapat pula unsur dimana
pelacakan kepada dimensi yang paling mendasar dalam kehidupan
merupakan satu hal yang selalu akan menjadi tema pokok kehidupan kita
dalam hubungannya dengan teater, yang senantiasa menggugat, melacak
jatidirinya dan sekaligus meneguhkan kehadiran manusia secara
individual-sosial beserta kompleksitas masalahnya.
-o0o-

Solo, Des-2002 – Jan-2003

1 komentar:

agrita widiasari mengatakan...

Teater Sastra dengan bangga mempersembahkan:

"Tragedi Macbeth"
William Shakespeare
(sutradara I. Yudhi Soenarto)

Tanggal 21 dan 22 November 2009 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
HTM : VIP Rp 75.000,- ; REG Rp 50.000,- ; BALKON Rp 30.000,-
Tiket box : Gedung 9 lt.1 FIB, UI.
Contact : Agrita (085692366592)
Wanodya (08568346767)