Senin, 18 Agustus 2008

TEATER MAHASISWA: PETA YANG TAK TERBACA


~tulisan ini pernah di posting di milis ngobrolin teater,7 September 2005~
Ada banyak anggapan orang tentang kehidupan teater di lingkungan kampus yang dikenal dengan teater mahasiswa sebagai ajang yang tak lebih dari suatu keisengan belaka, pengisi waktu diantara kesibukan menuntut ilmu. Anggapan umum seperti ini bukan hanya berlaku di dalam dunia dan cara berpikir bagi kalangan umum saja.Tapi juga banyak dilingkungan kalangan kesenian. Bagi mereka yang tak pernah atau hanya sedikit tahu tentang kehidupan kesenian (baca:teater mahasiswa) asumsi seperti itu nampak memiliki keabsahan yang selalu dikunyah dari suatu obrolan sampai dengan seminar. Sementara itu gejala dan sekaligus realitas yang terjadi tak pernah tertangkap dan tak pernah dibaca oleh para pengamat dan kritisi, termasuk oleh jurnalis. Jika toh masuk dalam pembicaraan, maka yang ada sejumlah cemooh yang dari waktu ke waktu mengulang yang itu-itu saja: menganggap bahwa teater mahasiswa tak pernah matang dan
asal jadi. Perspektif streotipe seperti itu membuat jarak atau jurang yang makin menganga dalam hubungan sosial antara pekerja teater yang berada di luar kampus dengan dalam kampus. Ditambah lagi, oleh kritisi dan pengamat (jika ada!) yang kini lebih banyak bersibuk dengan upacara resmi dalam seminar dan festival model pusat kesenian, yang kualitasnyapun tak lebih dari forum teater mahasiswa. Teater mahasiswa di mana dan kapanpun, dari perspektif sejarah kesenian di lingkungannya, tak dapat ditolak bahwa dirinya memiliki kontribusi sebagai media perantara dalam proses pembentukan grup-grup yang lebih serius dan professional. Bukankah StudiklubTeater Bandung (STB) dengan Suyatna Anirun, Jim Lim dan sejumlah mahasiswa pada sekitar akhir tahun 1950-an mendirikan grup dengan basis sosial kalangan mahasiswa, yang sampai kini eksistensinyadiakui sebagai salah satu grup yang memiliki kontribusi dalam pertumbuhan dan perkembangan teater di Indonesia, seperti juga
Rendra sebelum mendirikan Bengkel Teater berangkat dari kehidupan teater di kampus UGM bersama Umar Kayam dan angkatan sebayanya. Dan sampai Bengkel Teater dianggap sebagai grup professional, populasi yang dominant adalah kalangan mahasiswa dari berbagai jurusan yang menjadi anggotanya. Yang paling mutakhir adalah teater Komunitas Payung Hitam (KPH) di Bandung serta Teater Garasi di Yogyakarta yang memilih jalan untuk menciptakan basis sosial yang lebih luas ketimbang berkutat hanya di dalam kampus dan temannya sendiri. Itu
hanya beberapa contoh diantara puluhan grup lainnya yang tersebar di Makassar, Medan, Padang, Jakarta, Solo, dari priode tahun 1950-an sampai kini.
Lalu, kenapa pula teater mahasiswa tidak pernah dibaca oleh kritisi dan pengamat serta jurnalis? Sementara itu mereka hidup telah bukan hanya mencucurkan keringat, kehilangan waktu kuliah, serta sedikit banyak kocek ikut ter/di-rogoh untuk menyalurkan gagasannya dan minatnya pada dunia seni panggung? Barangkali ada baiknya kalau kalangan teater mahasiswa kembali membaca dirinya sendiri, sebelum mereka juga ikut dibaca oleh pihak "luar": kenapa selama ini mereka dianggap sekedar pelengkap penderita di dalam maupun di luar kampus dalam perkembangan kesenian di indonesia, sekedar menjadi bahan lontaran cemoohan? Otokritik yang saya dengar yang dengan cerdas dilontarkan oleh beberapa aktivis teater mahasiswa dalam suatu diskusi di Bandung, yang menyatakan bahwa begitu banyak aktivis teater kampus hanya menjadikan teater sebagai upacara tahunan, yang kegiatannnya sulit untuk dijagakan sebagai kegiatan yang memiliki rencana kerja yang kontinyu. Tudingan dan otokritik ini tidak sepenuhnya keliru, walaupun dalam beberapa hal dan kasus bisa meleset. Di Bandung dan di Solo serta Malang, dan bahkan di Tegal saya menyaksikan beberapa grup yang mempunyai program yang pantas dan bahkan bisa dianggap "professional": latihan yang kontinyu, pembedahan naskah disertai dengan riset dan diskusi yang lumayan bagus, pimpinan produksi yang agresif mencari sumber dana di luar kampus, mengundang mereka yang dianggap "senior" sebagai pengamat dan rekan dialog – yang kesemuanya bisa menjadi
cikal bakal bagi sebuah grup yang handal untuk kemudian hari. Di Solo dan Makassar pernah beberapa grup teater yang berbasis di jurusan dan fakultas mengundang sutradara tamu sebagai usaha untuk pencarian dan peningkatan mutu. Walaupun sayang sekali gagasan dan rencana kerja yang menarik itu tidak dibarengi dengan langkah berikutnya yang lebih matang: fokus pada suatu lakon dengan suatu pendekatan atau gaya dengan rentang waktu yang lebih panjang, dan menuliskan kembali semua proses yang didapat sebagai birografi penciptaan yang nantinya bisa dievaluasi dan dipelajari oleh generasi berikutnya. Lantaran rentang waktu yang pendek, dan nampak seperti kerja spontanitas, maka tudingan yang dilontarkan diatas
tersebut tetap masih berlaku secara umum bagi kehidupan teater mahasiswa, yang memilih kelonggaran waktu diantara kuliah yang ketat yang dengan itulah maka kesan kehidupan teater di kampus sebagai upacara tahunan tak bisa dielakkan. Itupun seringkali tanpa dukungan
yang memadai dari pimpinan universitas. Hal ini suatu ironi ketika kampus menyebut diri sebagai lembaga kebudayaan dan bukan hanya mencetak ilmuwan tapi juga insan yang berbudaya. Tapi, ironi tinggal ironi dan cemooh demi cemooh telah menjadi bagian dari kehidupan teater mahasiswa yang dengan kondisi apapun juga sampai kini kita menyaksikannya diberpuluh kota, dan sekian ratus grup tumbuh dan tumbang menjadi batu nisan dari kehidupan teater di tanah air. Sementara itu lahir pula ratusan calon aktor yang boleh dikatakan handal dan sangat memungkinkan untuk tampil di depan publik yang lebih luas, diantara kurangnya sutradara yang memadai yang bisa bersanding dan berdialog bersama aktivis teater.
Maka membaca teater mahasiswa diantara peta persoalan yang buram, namun bukan berarti nihil adalah kewajiban bagi pengamat, kritisi dan siapa saja agar tidak dianggap a-historis. Sebab,
betapapun lintasan sejarah kehidupan teater mahasiswa baru sekitar setengah abad, namun lintasan itu adalah jejak sejarah: dia bukan tanpa masa silam!
-o0o-
Halim HD. – Networker Kebudayaan.

1 komentar:

agrita widiasari mengatakan...

Teater Sastra dengan bangga mempersembahkan:

"Tragedi Macbeth"
William Shakespeare
(sutradara I. Yudhi Soenarto)

Tanggal 21 dan 22 November 2009 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
HTM : VIP Rp 75.000,- ; REG Rp 50.000,- ; BALKON Rp 30.000,-
Tiket box : Gedung 9 lt.1 FIB, UI.

Contact : Agrita (085692366592)
Wanodya (08568346767)

www.teatersastraui.com